Polres Nakegeo Diduga Lakukan Kekerasan dan Intimidasi terhadap Masyarakat Adat Rendu

Polres Nakegeo Diduga Lakukan Kekerasan dan Intimidasi terhadap Masyarakat Adat Rendu

JAKARTA, PENATIMOR – Kepolisian Polres Nagekeo diduga melakukan penangkapan secara paksa terhadap 24 orang masyarakat adat Rendu.

Tindakan Kepolisian Polres Nagekeo tersebut dinilai merupakan salah satu bentuk tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan ini telah melanggar hukum.

Untuk diketahui Kepolisian Polres Nagekeo telah dilaporkan ke Propam Mabes Polri terkait dengan tindakan represif yang dilakukan terhadap masyarakat adat Rendu pada Desember 2021.

Tindakan dan perilaku kekerasan dan intimidasi yang diduga telah dilakukan oleh Kepolisian Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Rendu, merupakan tindakan pelanggaran hukum dan konstitusi yang dimana keberadaan Masyarakat Adat telah dilindungi oleh konstitusi sebagaimana mandat dari Undang-undang Dasar 1945.

Tindakan Kepolisian Polres Nagekeo juga diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Hak Asasi Manusia.

Pembangunan waduk Lambo menimbulkan pro dan kontra terhadap masyarakat adat yang ada di Rendu, dan masyarakat adat yang melakukan penolakan tergabung dalam “Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo” dan ini diduga dimanfaatkan oleh Kepolisian Polres Nagekeo dengan membenturkan pendapat masyarakat yang pro dan kontra terhadap pembangunan waduk Lambo tersebut.

Kepolisian juga diduga sengaja melakukan dan menciptakan skenario ini untuk menciptakan atau membuatkan konflik horisontal antara masyarakat adat dari suku yang berbeda dengan masyarakat adat suku Rendu.

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) yang telah mendapatkan kuasa dari Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo menyampaikan sikap tegas dan langkah hukum atas sikap dan tindakan Kepolisian Polres Nagekeo atas peristiwa penangkapan terhadap masyarakat adat Rendu.
Hal ini dikatakan Ketua PPMAN Region Bali Nusra John Bala melalui siaran pers tertulis yang diterima media ini, Rabu (6/4/2022).

John Bala menyampaikan bahwa tindakan dari Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo dengan menyetujui pembangunan waduk Lambo merupakan tindakan yang dilakukan dalam posisi dan kondisi tidak bebas, karena adanya tekanan, paksaan dan ancaman yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian Polres Nagekeo, dan sikap dari Ketua Forum tersebut tidak mewakili seluruh kepentingan masyarakat adat Rendu.

“Hal ini dapat saya sampaikan karena dapat dipastikan tidak ada proses konsolidasi dan koordinasi dengan masyarakat adat lainnya saat ketua forum mengambil keputusan untuk menyetujui pembangunan waduk Lambo tersebut. Hal ini karena seluruh peralatan komunikasi Masyarakat Adat yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo, ditahan di Kepolisian, disimpan atau disita oleh Kepolisian dan ini atas perintah dari Kapolres Nagekeo. Maka ada keterbatasan akses bagi ketua forum untuk meminta pendapat, sikap dan keputusan dari masyarakat adat lainnya,” kata John Bala.

Laki-laki yang biasa dipanggil Jhon ini juga menambahkan bahwa tindakan Kepolisian Polres Nagekeo dengan menjemur masyarakat adat merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan tidak mencerminkan sebagai aparat penegak hukum yang baik, dimana seharusnya Kepolisian melindungi kepentingan masyarakat.

“Namun pada kasus waduk Lambo sangat terlihat bahwa Kepolisian Polres Nagekeo tunduk dan patuh untuk menjalankan perintah-perintah dari pengusaha, pemilik modal atau perusahaan yang akan membangun waduk di Lambo,” sebut dia.

Di tempat terpisah, Ermelina Singereta yang merupakan Manager Bidang Advokasi PPMAN, saat dihubungi via ponsel, mengatakan bahwa masyarakat adat yang tergabung dalam Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo melakukan konferensi pers di Kantor Kepolisian Polres Nagekeo dan ini menunjukan bahwa masyarakat adat tidak memiliki sikap dan keputusan yang bebas untuk menolak, dan dapat dikatakan masyarakat adat melakukan konferensi pers untuk melaksanakan perintah dari kepolisian untuk menyampaikan persetujuan pembangunan waduk Lambo tersebut dan ini sudah menjadi kebiasaan di Instansi kepolisian.

Pengacara perempuan yang berdomisili di Jakarta ini juga menambahkan bahwa PPMAN telah membuatkan laporan atas sikap Polres Nagekeo ke Propam Mabes Polri dan Propam Mabes Polri telah mendelegasikan laporan PPMAN ke Polda NTT.

“Namun sampai saat ini PPMAN belum mendapatkan respon atas surat perkembangan laporan yang telah kirimkan ke Propam Polda NTT, dan ini menunjukan sikap ketidakpedulian dan tidak profesioalnya aparat Kepolisian di Polda NTT, selain itu PPMAN telah membuatkan laporan ke Komponas RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komnas Perempuan,” sebut Ermelina.

Atas peristiwa yang terjadi pada tanggal 4 April 2022, menurut Ermelina, PPMAN akan mengirimkan surat ke Mabes Polri dan juga membuatkan laporan kembali ke Propam Mabes Polri, lembaga negara dan juga ke Komisi 3 DPR RI (komisi hukum) yang merupakan mitra kerja dari Mabes Polri.

Hal ini menurut dia sangat penting agar Komisi 3 DPR RI melakukan evaluasi terhadap kinerja dari aparat Kepolisian.

“Kami juga meminta agar Mabes Polri segera melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kinerja dari Kapolres Nagekeo yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat Rendu, namun menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melindungi para pengusaha,” imbuhnya.

PPMAN menurut dia, akan terus mengawal dan mendampingi masyarakat adat dan mengambil beberapa tindakan hukum lainnya, hal ini sangat penting untuk tercapainya keadilan bagi masyarakat adat yang memiliki hak penuh atas tanah leluhurnya. (*/wil)

error: Content is protected !!