Kupang, penatimor.com – Anggota DPRD Kabupaten TTU, Irenius Frederik Taolin alias Dedi (37) sebelumnya ditangkap petugas BNN Kota Kupang di salah satu kamar hotel di Kota Kupang saat sedang asyik bersama dua teman wanita dan seorang pria.
Dari hasil pemeriksaan urine, Dedi dinyatakan positif menggunakan narkotika.
Selain Dedi, seorang teman wanitanya berinisial, AHP juga dinyatakan positif. Sementara IEL dan DL dinyatakan negatif.
Meski dinyatakan positif, Dedi dan AHP tak diproses hukum. Keduanya malah dibebaskan.
Pembebasan oknum wakil rakyat ini dikritisi praktisi hukum, Bildad Thonak. Menurut dia, pembebasan wakil rakyat yang terbukti menggunakan narkotika adalah bukti disparitas penegakan hukum oleh BNN Kota Kupang.
Ia mengatakan, narkotika merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang penegakan hukumnya harus benar-benar tegas dan mampu memberi efek jera terhadap pelaku.
“Jelas-jelas positif tetapi dibebaskan, ini jadi pertanyaan besar. Kalau mau fair, harus diproses hukum,” katanya.
Ia mencontohkan salah satu pelaku pengguna narkotika yang ditangkap Polda NTT di Labuan Bajo beberapa waktu lalu.
Meski pelakunya menggunakan Narkoba untuk menyembuhkan sakit, namun ia akhirnya divonis bersalah dan mendekam di penjara.
Hal ini berbeda dengan anggota DPRD TTU dari Partai Hanura yang menggunakan narkoba untuk bersenang-senang dengan pasangan wanita dan tidak diproses hukum.
“Jika penangananan hukum seperti ini, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap penegakan hukum oleh BNN,” ujarnya.
Sementara pengamat hukum Unwira Kupang, Mikhael Feka, mengatakan, dalam aturan Undang-Undang Narkotika, diatur bahwa seseorang yang positif menggunakan narkotika tentu ada prosedur penanganan hukumnya, bukan serta merta dilepas dengan alasan tertentu.
“Apakah tidak cukup bukti itu seperti tidak ada bukti pil ekstasi atau apa, tetapi prinsipnya, seseorang yang dalam dugaan tindak pindana penyalagunaan narkotika dan diketahui positif tentu ada tahapan prosedurnya. Tetapi, argumentasi kurang bukti itu yang jadi pertanyaan besar,” ujarnya kepada wartawan, Sabtu (27/6/2020).
Ia mengatakan, BNN harus transparan dalam menangani kasus ini. Apakah karena sebagai anggota DPRD atau politisi ini harus dijelaskan detail oleh BNN, sehingga tidak terkesan ada perbedaan klaster dalam penanganan setiap permasalahan hukum.
BNN dalam penanganan hukum, harus berdasar asas hukum dan keterbukaan. Karena, semua orang sama dihadapan hukum. BNN harus detail menjelaskan kepada masyarakat alasan anggota DPRD itu dibebaskan, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan publik.
Ia berharap penanganan hukum terhadap oknum DPRD TTU dari Partai Hanura ini harus sesuai prosedur dan tahapannya. Hukuman terhadap orang yang menggunakan, memproduksi mengedar atau menjual tentu berbeda. Namun, bukan karena tidak terbukti lalu dilepas.
“Tidak segampang itu, bukan dipotong tahapan prosedur penangananya. Penanganan harus sesuai prosedur atau tahapan, bukan serta merta dibebaskan. Kurang barang bukti seperti apa itu yang harus didalami, karena ada persepsi masyarakat bahwa sebaiknya kita gunakan narkoba karena bebas pidana tidak di proses hukum, ini hal yang kurang bagus ini jadi pembelajaran hukum untuk masyarakat NTT,” katanya.
Ia menambahkan, jika penanganan kasus yang melibatkan wakil rakyat ini profesional dan sesuai prosedur hukum, tentu membawa efek jera bagi pelaku dan menjadi pendidikan hukum untuk masyarakat.
“BNN harus jaga kepercayaan masyarakat,” tutupnya.
Sebelumnya, Kepala BNN Kota Kupang, Lino Do R. Pareira, mengatakan, meski hasil tes urine positif, anggota DPRD bersama teman wanitanya dipulangkan tim penyidik BNN. Mereka dipulangkan karena tidak cukup bukti. Keduanya, kata dia, dikategorikan sebagai penyalahguna. (wil)