NTT Patut Berbangga Punya Mantan Kajati yang Sukses Bongkar Banyak Kasus Mega Korupsi di Indonesia hingga Dipercaya jadi JAM Pidsus

NTT Patut Berbangga Punya Mantan Kajati yang Sukses Bongkar Banyak Kasus Mega Korupsi di Indonesia hingga Dipercaya jadi JAM Pidsus

KUPANG, PENATIMOR – Nusa Tenggara Timur (NTT) patut berbangga karena tidak sedikit pejabat pada institusi vertikal yang pernah bertugas di NTT memiliki karier yang terbilang moncer.

Di institusi Kejaksaan misalnya. Beberapa mantan Kajati NTT kini menduduki jabatan prestisius di Kejaksaan Agung RI.

Misalnya mantan Kajati NTT HM Prasetyo yang kemudian mencapai karier tertinggi sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia.

Ada juga Dr. Sunarta, SH.,MH., yang kini menjadi Wakil Jaksa Agung RI.

Tak kalah suksesnya, Dr. Febrie Adriansyah, SH.,MH., yang saat menjabat Kajati NTT pada tahun 2018, merupakan Kajati termuda se-Indonesia.

Kini karier Febrie melambung tinggi bak roket dan menduduki jabatan yang juga terbilang sangat strategis yaitu Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus).

Setelah melepas jabatan Kajati NTT, Febrie kemudian dipromosikan menjadi Direktur Penuntutan (Dirtut) JAM Pidsus, kemudian menjadi Direktur Penyidikan (Dirdik) JAM Pidsus.

Karier Febrie terus menanjak hingga ditunjuk Jaksa Agung menjadi Kajati DKI Jakarta. Sebelumnya, suami dari Ny. Rugun Saragih ini juga pernah menjabat Wakajati DKI Jakarta.

Tidak berselang lama, Febrie pun dipromosikan menjadi penguasa Gedung Bundar di Kejaksaan Agung RI, yaitu sebagai JAM Pidsus.

Febrie menggantikan Ali Mukartono yang ditugaskan mengisi jabatan JAM Pengawasan.

Promosi jabatan sebagai JAM Pidsus ini karena Febrie dinilai berhasil mengungkap sejumlah kasus mega korupsi yang melibatkan sejumlah elite tanah air.

Diketahui, sebelum menjabat sebagai Kajati DKI Jakarta, Febrie telah menorehkan banyak prestasi saat menjadi Direktur Penyidikan JAM Pidsus.

Febrie telah banyak membongkar kasus megakorupsi di antaranya kasus korupsi Jiwasraya, Asabri, dan kasus korupsi Bank Tabungan Negara (BTN).

Dalam kasus korupsi Asabri, Kejagung menjebloskan 9 orang di antaranya mantan Direktur Utama PT Asabri Mayor Jenderal (Purn) Adam R Damiri, Letnan Jenderal (Purn) Sonny Widjaja, Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro. Kemudian eks Kepala Divisi Investasi Asabri Ilham W. Siregar, Lukman Purnomosidi, Hari Setiono, dan Jimmy Sutopo.

Dalam kasus tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp22,78 triliun.

Kasus yang tak kalah menggemparkan adalah kasus dugaan korupsi PT Jiwasraya. Dalam kasus Jiwasraya BPK mencatat kerugian yang dialami Jiwasraya sebesar Rp16,8 triliun.

Kemudian kasus korupsi fasilitas kredit PT Bank Tabungan Negara (BTN), sebanyak lima orang tersangka juga dijebloskan di antarany Ghofir Effendy, Yunan Anwar, Icshan Hasan, H Maryono, dan Widi Kusuma Putranto.

Saat menjabat Kajati DKI Jakarta, Febrie Adriansyah juga berhasil mengungkap kasus dugaan mafia tanah dan pelabuhan.

Tak hanya sampai disitu, dirinya juga meraih piagam penghargaan dari BPJS Kesehatan.

Masih banyak lagi kasus dugaan korupsi yang dibongkar oleh Febrie Adriansyah, seperti pada PT Garuda Indonesia, termasuk membidik korporasi minyak sawit yang kedapatan melanggar terkait kasus dugaan korupsi pemberian izin fasilitas ekspor CPO.

Febrie Adriansyah saat itu menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022.

Sementara, yang terbaru ditangani pria asal Jambi itu adalah kasus dugaan korupsi lahan sawit Surya Darmadi (SD) dengan total kerugian negara mencapai Rp104,1 triliun.

Strategi Berantas Korupsi

Febrie Adriansyah mengungkapkan, Kejagung punya tiga strategi untuk mengoptimalkan penyelamatan keuangan negara melalui penanganan tindak pidana korupsi.

Strategi pertama, kata Febrie, Kejagung tidak hanya memidana subjek hukum orang perseorangan, tapi juga subjek hukum korporasi agar memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa denda.

“Pemidanaan tidak hanya diarahkan kepada subjek hukum orang perseorangan tetapi kepada subjek hukum korporasi untuk memunculkan efek penjeraan, tetapi juga akan menghasilkan pendapatan negara karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda,” kata Febrie yang juga lulusan jaksa terbaik di zamannya.

Strategi kedua adalah penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tidak hanya fokus pada pembuktian unsur merugikan keuangan negara, tapi juga merugikan perekonomian negara.

Menurut Febrie, sejauh ini aparat penegak hukum hanya menitikberatkan pada pemulihan keuangan negara, sedangkan kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi belum menjadi standar penanganan.

“Hal ini menimbulkan tingkat pemulihan ekonomi negara seringkali tidak sebanding dengan opportunity cost dan multiplier economy effect yang timbul sebagai akibat terjadinya tindak pidana korupsi,” kata Febrie lagi.

Febrie melanjutkan, strategi ketiga adalah penerapan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada kasus-kasus korupsi.

“Penerapan secara konsisten tindak pidana pencucian uang, selain untuk efek penjeraan, juga sebagai upaya untuk penyelamatan keuangan negara dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP,” ujar Febrie yang juga Ketua Adhyaksa Tenis Club (ATC) Kejaksaan Agung RI.

Febrie juga sampaikan bahwa Kejagung telah melampaui target PNBP dari bidang tindak pidana khusus dan umum tahun 2021 dengan capaian sebesar 197,01 persen.

Sementara, hingga 18 Maret 2022, capaian target PNBP dari bidang pidana khusus dan umum telah mencapai 27,17 persen atau sekitar Rp 97,28 miliar.

Angka tersebut berasal dari sejumlah komponen antara lain penjualan barang rampasan hasil sitaan, pendapatan denda, pendapatan uang sitaan hasil korupsi, dan pendapatan uang sitaan tindak pidana pencucian uang.

Memanfaat Kemampuan dan Berbasis Teknologi Digital

Febrie Adriansyah juga terus mendorong jajarannya untuk terus meningkatkan kinerja kreatif, inovatif, profesional dan berintegritas.

“Hindari perbuatan tercela. Laksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai ketentuan,” ujar Febrie Adriansyah memotivasi jajarannya.

Febrie juga meminta jajarannya harus mampu melaksanakan program kerja yang telah direncanakan.

“Jangan cepat berpuas diri dengan prestasi kerja yang sudah dicapai, tetap tingkatkan kinerja, kreatif, inovatif, profesional dan berintegritas,” tegas sosok pekerja keras itu.

Febrie Adriansyah juga menekankan pada jajarannya bahwa sudah saatnya dalam bekerja untuk selalu memanfaat kemampuan dan berbasis teknologi digital.

Langkah ini sesuai arahan Bapak Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait pelaksanaan misi dan visi pemerintah.

Sudah Berprestasi Sejak Kecil

Febrie sesungguhnya lahir di Jakarta. Tapi ia besar di Jambi. Sekolahnya sedari SD hingga menamatkan kuliah Strata Satu ia jalani di Jambi.

Mengutip kisahnya di buku 65 Tokoh Perspektif Pemikiran Membangun Jambi, Febrie kecil dan remaja selalu dalam barisan ranking lima besar. Hanya di SMA, nilainya sempat jeblok.

“Waktu itu saya lebih sering nongkrong,” ujarnya sebagaimana dikisahkan di buku tersebut.

Ternyata Febrie Adriansyah berhasil masuk Fakultas Hukum Unja sebagai siswa undangan. S-1 ia selesaikan hanya dalam waktu empat tahun. Ada kisah unik, ternyata ia memiliki kebiasaan mencatat hal penting yang disampaikan dosen ketika pada potongan kertas kecil. Kertas itu dimasukkannya ke saku belakang celananya. Di dalam bus Unja (KPN), dia membuka catatan itu untuk menghafalnya.

Debut Febri Adriansyah sebagai jaksa dimulai di Kejaksaan Negeri Sungai Penuh, Kerinci pada tahun 1996 hingga. Jabatan terakhirnya di Kejati Sungai Penuh adalah sebagai Kasi Intelijen.

Febrie kemudian berpindah-pindah tugas. Ia pernah menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Bandung, Aspidsus Kejati Jawa Timur, Wakajati Yogyakarta, Wakajati DKI Jakarta, dan Kajati NTT.

Pada Juli 2021, dia dilantik menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta.

Dalam buku 65 Tokoh disebutkan, saat menjadi Direktur Penyidikan (Dirdik) Kejaksaan Agung, dia banyak membongkar kasus besar.

Febrie termasuk yang menyeret Jaksa Pinangki Sirna Malasari pada kasus Djoko Soegiarto Tjandra. Dia juga yang mengungkap kasus skandal mega korupsi PT. Asuransi Jiwasraya dan PT. Asabri senilai triliunan rupiah.

Saat menangani kasus PT. Asuransi Jiwasaraya, PT. Asabri dan BTN, Febrie berhasil mengirimkan Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputra dan kawan-kawan ke balik jeruji Lembaga Pemasyarakatan (LP) untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Untuk diketahui, dalam perkara PT. AJS negara mengalami kerugian cukup fantantis yakni mencapai Rp16, 8 triliun. Angka ini merupakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sementara untuk kasus PT. Asabri negara mengalami kerugian lebih besar akibat korupsi senilai Rp22,78 Triliun.

Sementara itu, pada perkara korupsi Bank Tabungan Negara kerugian negara mencapai Rp279,6 miliar dan menyeret mantan Direktur Utama PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Maryono pun diseret ke meja hijau. (nus)

error: Content is protected !!