LBH APIK NTT Mengutuk Keras Kejahatan Seksual oleh Calon Pendeta terhadap Belasan Anak di Alor

LBH APIK NTT Mengutuk Keras Kejahatan Seksual oleh Calon Pendeta terhadap Belasan Anak di Alor

KUPANG, PENATIMOR – Lembaga Bantuan Hukum Assosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Nusa Tenggara Timur (LBH APIK NTT) merupakan lembaga yang fokus pada upaya perlindungan perempuan dan anak.

Salah satu misi yang diemban oleh LBH APIK NTT adalah mengupayakan hukum yang memberikan berkeadilan gender.

Terkait adanya ketimpangan gender, LBH APIK NTT dengan Ansy Damaris Rihi Dara sebagai Direktur, mengambil sikap berpihak pada perempuan dan anak, termasuk memberikan pendampingan hukum serta mengupayakan adanya perubahan hukum yang berkeadilan.

LBH APIK NTT melihat kekerasan seksual di NTT sebagai suatu momok bagi upaya perlindungan perempuan dan anak.

Catatan akhir tahun LBH APIK NTT dari tahun 2013 hingga 2021 menempatkan kasus KDRT, Perkosaan dan Percabulan dalam 3 mayoritas kasus yang ditangani oleh LBH APIK NTT.

Riset media yang dilakukan juga menunjukkan data yang sama, dimana kekerasan seksual menjadi kasus yang paling dominan terjadi di provinsi yang terkenal dengan budaya ketimurannya.

Bentuk dan modus kekerasan seksual semakin beragam. Begitu juga dengan pelaku.

Umumnya kasus kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat maupun orang yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat dan umat.

Saat ini, publik di NTT dihebohkan dengan viralnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang calon pendeta (Vicaris) kepada anak remaja di Kabupaten Alor.

Kasus ini seakan membuka tabir kejahatan seksual yang dilakukan oleh “Para Penjaga Moral“ yang selama ini tersembunyi dengan alasan tabu untuk diungkapkan.

Selain itu, kasus kekerasan yang terjadi di lingkup lembaga keagamaan, sulit terungkap karena penafsiran terkait ajaran agama yang memisahkan ranah “ilahi“ (agama) dengan ranah “duniawi“ (hukum).

Akibatnya kasus-kasus yang terjadi di lembaga keagamaan, tidak dilaporkan ke aparat penegak hukum, tetapi diselesaikan secara restorative justice.

Tanpa disadari bahwa upaya pemaaf yang dilakukan dengan dasar ajaran agama, telah menghasilkan angka kekerasan seksual yang terus meningkat di provinsi NTT.

Pelaku akan dengan mudah melakukan kekerasan seksual karena sadar betul bahwa kasusnya akan diselesaikan secara tertutup, yang melibatkan petinggi agama, korban dan/atau keluarga korban, pelaku dan/atau keluarga pelaku.

Efek jera yang menjadi salah satu alasan penindakan hukum tidak akan tercapai. Sanksi sosial pun tidak akan didapat karena penyelesaiannya dilakukan secara tertutup melalui mekanisme pastoral.

Kasus perkosaan, percabulan, ITE dan Pornografi yang dilakukan oleh Vicaris GMIT atas nama Yanto Snae sebagai entri point bagi LBH APIK NTT untuk menyatakan sikap LBH APIK terkait kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae dan para pelaku lainnya, serta harapan perubahan bagi lembaga/instansi untuk lebih memperhatikan mekanisme perlindungan bagi perempuan dan anak dari para perdator seksual yang bersembunyi di balik label rohaniawaan atau “penjaga moral“.

Adapun pernyataan sikap LBH APIK NTT sebagai berikut:

1.      Mengutuk keras segala tindakan kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae.

2.      Mengingat kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae terjadi pada saat pelaku sedang menjalani vikariat, maka lembaga bersangkutan memiliki kewajiban moril untuk melakukan tindakan pendisiplinan sesusai dengan ketentuan yang berlaku pada lembaga, tanpa mengesampingkan upaya penegakan hukum. Berharap lembaga tempat Yanto Snae bernaung menjadi garda terdepan untuk melaporkan kasus ini kepada aparat hukum, sebagaimana amanat UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

3.      Meminta Aparat Kepolisian untuk segera menahan dan memproses secara hukum pelaku kekerasan seksual dengan tidak melakukan upaya restorative justice, sebagaimana diatur dalam pasal 23 pasal 19 UU TPKS yang berbunyi: “ Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang“.

4.      Memberikan sanksi pidana bagi orang perorangan atau korporasi, baik itu Lembaga maupun Aparat Penegak Hukum (APH) itu sendiri yang berniat mengalihkan kasus kekerasan seksual ini ke arah ranah non litigasi (restorative justice), sebagaimana  diatur dalam pasal 19 UU TPKS.

5.      APH wajib menggunakan hukum acara yang diatur dalam UU TPKS, walaupun kasus perkosaan tidak diatur normanya dalam UU TPKS. Ini artinya APH perlu melihat syarat penetapan keterangan Saksi dan/atau Korban sebagai cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya, serta perluasan alat bukti sebagaimana di atur dalam pasal 23 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU TPKS

6.      Semua pihak perlu mengawal kasus ini termasuk kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, agar hak-hak korban seperti hak didampingi oleh pendamping, hak restitusi, dan layanan pemulihan dengan melibatkan LPSK. Termasuk juga hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan hak perlindungan hukumnya.

7.      Menghimbau kepada wartawan dan/atau masyarakat yang turut mempublikasikan kasus kekerasan seksual termasuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh Yanto Snae agar tidak menyampaikan identitas anak korban, karena tindakan tersebebut bisa diancam hukuman penjara maksimal 5 (lima) Tahun (pasal 97 Jo. Pasal 19 ayat (1) UU nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Adapun identitas yang tidak boleh disebarluaskan melalui media cetak maupun eletronik adalah: nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri anak (pasal 19 ayat (2) UU SPPA

8.      Lembaga/korporasi harus membuat kebijakan perlindungan perempuan dan anak dan menciptakan ruang aman dari kekerasan seksual, sehingga perempuan dan anak yang selama ini rentan sebagai korban kekerasan seksual bisa terselamatkan dari para predator seksual termasuk predator berjubah rohaniawan.

9.      Lembaga/korporasi perlu membuat pakta komitmen untuk Zero tolerance terhadap kekerasan seksual, mengingat kekerasan seksual terus meningkat dan pelakunya merupakan orang dekat, tokoh panutan maupun kelompok dalam korporasi/lembaga tersebut.

10.  Mengharapkan peran serta selurun masyarakat untuk terus bersuara dan melaporkan semua kasus kekerasan seksual yang dialami maupun dilihat, serta tidak boleh mendiamkan atau membiarkan kekerasan itu terjadi.

Demikian pernyataan sikap LBH APIK NTT, dengan harapan keterlibatan semua pihak untuk mengawal semua kasus-kasus kekerasan seksual, bukan saja pada kasus yang viral, namun pada semua kasus. Sehingga, ke depan NTT menjadi provinsi yang ramah perempuan dan anak. (wil)

error: Content is protected !!