Kajari TTU Roberth Lambila Tawarkan Gagasan Bernas Agar Perkara Korupsi Diselesaikan di Luar Pengadilan

Kajari TTU Roberth Lambila Tawarkan Gagasan Bernas Agar Perkara Korupsi Diselesaikan di Luar Pengadilan

KUPANG, PENATIMOR – Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Roberth Jimmy Lambila, SH.,MH., memberikan ide dan gagasan baru tentang pengaturan kebijakan penyelesaian perkara korupsi.

Hal ini dituangkan dalam karya tulis ilmiahnya dalam rangka peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-63 tahun 2023.

Roberth yang pernah menjadi Kajari terbaik tingkat nasional dalam penanganan perkara korupsi, selama dua tahun berturut-turut, 2021-2023, hingga meraih penghargaan dari Kejagung RI dan KPK RI itu, menuangkan ide dan gagasannya dalam karya ilmiah berjudul, “Pengaturan Kebijakan Penyelesaian Perkara Korupsi Bernilai Kerugian Negara Kecil di Luar Persidangan Melalui Pendekatan Denda Damai dengan Prinsip Plea Bargaining Demi Keadilan dan Kemanfaatan Hukum”.

Menurut Roberth, penulisan karya tulis ini sebagai sarana menyampaikan ide dan gagasan mengenai penerapan denda damai dalam perkara korupsi oleh penuntut umum, melalui instrumen sebagai implementasi penguatan prinsip dominis litis dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

Pembahasan dalam penulisan ini sebagian besar merupakan ide dan gagasan originalnya, sebagai hasil komtemplasi atau perenungan , berdasarkan pengalamannya sebagai jaksa selama kurang lebih 20 tahun, yang banyak terlibat dalam penanganan perkara korupsi, lebih khusus pengalaman penanganan perkara korupsi ketika ia mulai menjabat sebagai Kajari Timor Tengah Utara sejak bulan Februari 2021 hingga sekarang.

Roberth mengurai, tidak efektif dan efisiennya penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara relatif kecil telah mendorong Jaksa Agung RI S.T Burhanudin membuat langkah kebijakan penegakan hukum dengan melakukan imbuan kepada jajaran Kejaksaan agar tidak melanjutkan penanganan perkara korupsi dengan nilai kerugian negara di bawah Rp50 juta.

Kebijakan Jaksa Agung ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2010 dengan diterbitkannya Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: B-113/F/FD.1/05/2010 dan yang paling terakhir dengan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor 765/F/Fd.1/04/2018.

Kebijakan yang terdapat dalam dua surat Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus semata-mata didasarkan pada alasan pengembalian kerugian keuangan negara tanpa dirumuskan dengan jelas, tegas dan komprehensif mengenai bentuk pendekatan penyelesaian yang digunakan, deifinis dan batas

batas dari perkara korupsi yang dapat diselesaikan di luar persidangan, syarat-syarat dan mekanisme termasuk jenis-jenis sanksi di luar pidana yang dapat diterapkan terhadap para pihak yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang terjadi.

Roberth berpendapat, perlu adanya suatu peraturan kebijakan yang dikeluarkan Jaksa Agung sebagai pedoman penyelesaian perkara tindak pidana korupsi di luar persidangan.

Dan, menurutnya, pendekatan denda damai dengan prinsip plea bergaining merupakan suatu bentuk pendekatan yang paling efektif, efisien, adil dan bermanfaat digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan Jaksa Agung RI tersebut.

“Pendekatan denda damai dengan prinsip plea bergaining dirumuskan melalui syarat, mekanisme dan jenis sanksi yang dapat diterapkan tidak saja berupa pembayaran denda damai, tetapi juga memiliki aspek penjeraan dan pencelaan seperti sanksi pengumuman pernyataan bersalah dan sanksi adminstratif lainnya,” urai Roberth yang juga Jaksa Terbaik tingkat nasional tahun 2015-2016 itu.

Pertama, kebijakan penghentian perkara tindak pidana korupsi yang telah ada pengembalian kerugian menekankan pada aspek kemanfaatan dan keadilan.

Kedua, pesimisme penggunaan sarana penal dalam penanggulangan kejahatan yang menjalar dalam pandangan dunia internasional juga menjadi dasar pembenaran penyelesaian perkara korupsi tanpa melalui pengadilan sebagai alternatif yang efektif dan efisien.

Ketiga, berbagai penelitian menunjukan penerapan hukum pidana terhadap perkara korupsi melalui pengadilan tidak memberikan manfaat yang optimal bagi upaya pengembalian kerugian keuangan negara.

Keempat, kebijakan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi tanpa melalui proses pengadilan dengan pertimbangan keadilan dan kemanfaatan hukum merupakan inmplementasi asas dominis litis yang dimiliki penuntut umum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Kejaksaan, antara lain dalam penjelasan umum UU Kejaksaan Nomor 11 Tahun 2021.

Lanjut Roberth, penyelesaian perkara pidana di luar persidangan ini antara lain dapat dilakukan melalui mediasi penal sebagai salah satu kewenangan Kejaksaan yang diatur dalam Pasal 30 C huruf d Undang-Undang Kejaksaan Nomor 11 tahun 2021.

Baginya, kebijakan penyelesaian perkara korupsi di luar pengadilan dalam Surat Jampidsus Nomor: B-113/F/FD.1/05/2010 dan Surat Jampidsus Nomor 765/F/Fd.1/04/2018 belum memberikan pengaturan yang jelas, tegas dan komprehensif sehingga dalam pelaksanaannya masih menimbulkan beda tafsir serta rentan timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

Pertimbangan yang demikian mengharuskan adanya pedoman umum yang dibuat untuk mengimplementasi kebijakan tersebut dalam suatu Peraturan Kejaksaan yang mengatur secara jelas, tegas dan komprehensif mengenai bentuk pendekatan mediasi penal yang digunakan, syarat-syarat, proses dan mekanisme serta bentuk dan jenis sanksi.

Roberth juga mengemukakan pokok permasalahan yang menjadi dasar dalam pembahasan karya ilmiahnya, yaitu bentuk pendekatan mediasi penal apakah yang tepat untuk digunakan dalam kebijakan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi bernilai kecil di luar persidangan?

Kemudian, apa saja syarat-syarat yang diperlukan serta bagaimana proses dan mekanisme dalam pelaksanaan kebijakan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi bernilai kecil di luar persidangan?

Untuk itu, menurut Roberth, tujuan penulisan ini adalah menemukan konsep bentuk pendekatan mediasi penal yang tepat serta syarat, proses atau mekanisme yang efektif, efisien, adil dan bermanfaat yang dapat digunakan dalam kebijakan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi bernilai kecil di luar persidangan.

Karya ilmiah ini diharapkan memberikaan manfaat secara teoritis yaitu pengembangan ilmu pengetahuan dan secara praktis dapat menjadi bahan masukan bagi lahirnya produk kebijakan Jaksa Agung mengenai penyelesaian perkara tindak pidana korupsi bernilai kecil di luar persidangan.

Bagi Roberth, kombinasi konsep denda damai dan prinsip plea bargaining sebagai pendekatan mediasi penal yang efektif dan efisen dalam kebijakan penyelesaian perkara korupsi di luar persidangan.

Menurutnya, pemikiran aliran modern yang berpendapat dalam hal-hal tertentu satu pidana denda yang berat adalah lebih baik dan lebih bermanfaat daripada satu pidana penjara jangka pendek telah menginspirasi lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang menerapkan denda damai sebagai alternatif penyelesaian perkara di luar persidangan baik di Belanda maupun Indonesia.

Peraturan itu antara lain dalam Geldboetewet tahun 1925, dan pasal 82 KUHP dan pasal 29 rechten ordonanntie dan pasal 44 B UU Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007.

Perkembangan hukum pidana menunjukan prinsip yang didasarkan pada kategori tindak pidana sebagai pelanggaran dengan ancaman pidana denda atau terhadap tindak pidana yang sangat ringan seperti dalam pasal 82 KUHP dan pasal 29 rechten ordonanntie sebagai syarat dilakukannya mediasi penal mulai ditinggalkan.

Fenomena hukum ini dapat dilihat dari ketentuan denda damai dalam UU Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 yang tidak membatasi pelaksanaan denda damai berdasarkan alasan strafmaat (ancaman pidana) tetapi lebih berorientasi pada kepentingan pendapatan negara.

Perkembangan ini tidak terlepas dari pengaruh paham utilitarianisme Jeremy Bentham yang membatasi pendayagunaan hukum dengan beberapa pertimbangan yaitu jika tidak berdasar, jika tidak efektif, jika tidak menguntungkan atau terlalu mahal dan jika tidak perlu dimana kerugian dapat dicegah dengan harga yang lebih murah.

Lanjut Roberth, berbagai riset hukum yang menunjukan penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan nilai kerugian kecil melalui pengadilan tidak efektif dan tidak efisien terutama dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara bahkan secara ekonomis mendatangkan kerugian lebih besar.

Berlandaskan pada prinsip dominis litis, dengan pertimbangan kemanfaatan dan keadilan, Penuntut Umum berwenang melakukan penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process), termasuk perkara korupsi dengan nilai kerugian kecil menggunakan kewenangan mediasi penal yang dimilikinya.

Roberth berpandangan, bentuk pendekatan mediasi penal yang paling tepat, efektif dan efisien adalah pendekatan denda damai dengan mengadopsi sebagian prinsip yang dikenal dalam praktek plea bargaining antara lain adanya pengakuan bersalah dan adanya hukuman yang lebih ringan.

Pertama, kebanyakan ahli tidak menyebutkan korupsi sebagai kejahatan tanpa korban (victimless crime), namun mengingat negara yang dianggap sebagai korban kejahatan korupsi memiliki pengertian yang sangat luas, sehingga dalam mayoritas perkara korupsi sulit untuk mendefinisikan secara konkrit siapa korban langsung baik itu orang perorang ataupun kelompok tertentu.

Dengan mempertimbangkan situasi tersebut, Roberth berpendapat mayoritas perkara korupsi dapat digolongkan sebagai victimless crime, dan oleh karenanya penerapan konsep restorative justice secara murni yang mensyaratkan adanya persetujuan korban langsung dari kejahatan tidak mungkin untuk diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi.

Kedua, walaupun plea bargaining seperti yang dikenal dalam sistem hukum Amerika Serikat pelaksanaannya baru terjadi setelah proses pengadilan dimulai, namun sebagian prinsip-prinsip plea bargaining antara lain pengakuan bersalah dan hukuman yang lebih ringan dapat diadopsi dalam mekanisme denda damai perkara tindak pidana korupsi sebagai mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan.

Dengan mengadopsi prinsip ini, menurut Roberth, seorang tersangka/terdakwa atau pihak-pihak yang perkaranya tidak dilanjutkan ke pengadilan tidak saja dibebankan untuk membayar nilai denda tertentu, akan tetapi harus pula membuat pengakuan bersalah serta membayar nilai kerugian yang telah ditimbulkan berdasarkan keputusan penuntut umum.

Disamping itu terhadap terdakwa diberikan sanski lain yang bukan pidana sebagai pengganti pidana misalnya dengan mengumumkan pengakuan bersalahnya kepada masyarakat melalui media massa dan jenis sanksi lain bukan pidana tetapi mengandung aspek pencelaan, penjeraan dan pembalasan.

Roberth juga mengurai syarat, mekanisme dan sanksi dalam pelaksanaan kebijakan penyelesaian perkara korupsi dengan kerugian bernilai kecil di luar persidangan.

Menurut dia, kebijakan penyelesaian perkara korupsi bernilai kecil melalui pendekatan denda damai dengan prinsip-prinsip plea bargaining dalam Peraturan Kejaksaan harus merupakan ketentuan yang tegas dan jelas menjawab berbagai pertanyaan yang merupakan isu hukum terkait kebijakan tersebut yang dapat dikelompokan dalam dua isu hukum utama yaitu, isu hukum berkaitan syarat, dan isu hukum tentang mekanisme atau proses dan sanksi.

Mengenai syarat berkaitan jenis tindak pidana korupsi yang dapat diterapkan denda damai, menurut Roberth, kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana korupsi terdiri dari berbagai jenis yang tersebar dalam banyak pasal UU tindak pidana korupsi dan secara umum dikelompokan dalam tujuh jenis korupsi yaitu jenis tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, tindak pidana korupsi berkaitan dengan suap menyuap, tindak pidana korupsi berkaitan penggelapan dalam jabatan, tindak pidana korupsi berkaitan pemerasan, tindak pidana korupsi berkaitan perbuatan curang, tindak pidana korupsi berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, dan tindak pidana korupsi berkaitan dengan gratifikasi.

Penekanan pada nilai kerugian negara yang kecil sebagai syarat denda damai memberi kesan jenis tindak pidana korupsi yang dapat diterapkan denda damai adalah jenis tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara dalam pasal 2 dan pasal 3 sedangkan jenis tindak pidana lainnya tidak dengan termasuk alasan rumusan deliknya tidak mengandung kerugian keuangan negara sebagai bestandel delict.

Roberth berpendapat, penerapan denda damai dalam perkara korupsi harus meliputi seluruh jenis tindak pidana korupsi dalam tujuh kelompok yang sudah disebutkan dan tidak terbatas pada jenis korupsi merugikan keuangan negara dengan beberapa pertimbangan utama.

Pertama, kerugian keuangan negara tidak mutlak hanya terjadi dalam delik pasal 2 dan pasal 3 UU tindak pidana korupsi tetapi dapat terjadi sebagai akibat dari jenis-jenis tindak pidana korupsi lain yang dirumuskan secara formil tersebut misalnya dalam jenis penggelapan dalam jabatan, jenis perbuatan curang, jenis pertentangan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa dan jenis-jenis lain.

Kedua, dalam kenyataan terjadinya delik-delik korupsi yang tidak mengandung kerugian keuangan negara sebagai bestandel delict didasarkan pada motif dan modus untuk mendapatkan keuntungan atau kekayaan yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan.

Penerapan denda damai untuk perkara korupsi di luar pasal 2 dan pasal 3 harus ditetapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu yang berbeda dengan syarat yang diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Korupsi.

Mengenai syarat mengenai nilai kerugian dan nilai keuntungan, Roberth berpendapat, untuk menciptakan keseragaman pemahaman maka syarat mengenai nilai kerugian keuangan negara perlu ditetapkan secara jelas.

Penerapan syarat mengenai nilai kerugian keuangan negara harus mempertimbangkan syarat mengenai keuntungan yang benar-benar diperoleh tersangka/terdakwa atau pihak terkait.

Hal ini mengingat dalam kenyataan nilai kerugian keuangan negara yang terjadi dalam suatu perkara korupsi tidak selalu berbanding lurus dengan keuntungan yang diperoleh tersangka/terdakwa atau para pihak terkait.

Korupsi dengan nilai kerugian negara kecil dapat digolongkan dalam beberapa bagian menurut jenis tindak pidana korupsi, yaitu jenis tindak pidana korupsi merugikan keungan negara.

Jenis tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara dalam definisi yang diusulkannya adalah, jenis tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara sebagaimana dalam pasal 2 dan pasal 3.

Kemudian, jenis tindak pidana korupsi yang dirumuskan secara formil tetapi pada hakekatnya mempunyai akibat terjadinya kerugian keuangan negara yaitu, tindak pidana korupsi berkaitan penggelapan dalam jabatan dalam pasal 8, 9, 10 huruf a, 10 huruf b, 10 huruf c).

Dan, tindak pidana korupsi berkaitan perbuatan curang dalam pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, c, d, 7 ayat (2), 12 huruf h). Termasuk, tindak pidana korupsi berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan dalam pasal 12 huruf i.

Roberth juga mengemukakan syarat jumlah kerugian keuangan negara yang dihubungkan dengan jumlah keuntungan yang dapat dipertimbangkan sebagai korupsi dengan nilai kerugian negara kecil, yaitu nilai kerugian keuangan negara tertinggi sebesar Rp100.000.000, dengan keuntungan tertinggi yang diperoleh tersangka/terdakwa atau pihak-pihak tertentu baik itu seorang atau sebagai komulasi keuntungan yang diterima beberapa orang mencapai nilai Rp100.000.000.

Kemudian, nilai kerugian sampai dengan Rp1.000.000.000, dengan nilai keuntungan yang diperoleh sorang atau sebagai komulasi keuntungan yang diterima beberapa orang dari adanya kerugian keuangan negara secara rill tidak melebihi 10% dengan beberapa pertimbangan khusus misalnya kerugian negara yang timbul dari korupsi dalam sektor pengadaan barang dan jasa bukan sebagai akibat pekerjaan fiktif dan kerugian negara yang terjadi sebagai akibat kekurangan volume atau kemahalan harga tidak melebihi 30% nilai kontrak.

Tidak hanya itu, nilai kerugian keuangan negara telah dikembalikan, dan tindak pidana korupsi yang dilakukan tidak terjadi dalam keadaan tertentu misalnya bencana alam, bencana sosial dan tidak berkenaan dengan penganggaran yang ditujukan langsung kepada masyarakat miskin yang pengembaliannya tidak berdampak langsung terhadap masyarakat yang telah kehilangan haknya.

Roberth juga mengurai tentang jenis tindak pidana korupsi suap, gratifikasi dan pemerasan. Mengenai tindak pidana suap dan gratifikasi, syarat yang diusulkan Roberth yaitu, jumlah nilai suap dan gratifikasi yang diterima yaitu tidak melebihi nilai Rp10.000.000, dan penerimaan suap dan gratifikasi tidak terkait dengan suatu tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara yang nilai kerugian dan keuntungan di luar dari yang ditentukan bagi jenis tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara, dan bukan sesuatu perbuatan yang yang bersifat still going on, serta nilai suap dan gratifikasi yang diterima dikembalikan kepada negara.

Mengenai tindak pidana pemerasan, Roberth mengusulkan, jumlah nilai hasil pemerasan yang diterima yaitu tidak melebihi nilai Rp10.000.000, dan pemeraan tidak terkait dengan suatu tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara yang nilai kerugian dan keuntungan di luar dari yang ditentukan bagi jenis tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara.

Tidak hanya itu, syarat lainnya yaitu, hasil pemerasan telah dikembalikan kepada korban yang mengalami pemerasan dan/atau keluarganya dalam hal korban telah meninggal dunia atau karena suatu alasan yang patut tidak dapat menerima secara langsung pengembalian tersebut.

Roberth juga memberikan ide dan gagasan tentang syarat berdasarkan subjek hukum atau pelaku (terduga/tersangka/terdakwa). Subjek hukum yang dimaksud dalam kebijakan ini meliputi orang perseorangan dan korporasi merujuk pengertian setiap orang dalam pasal 1 ayat 3 UU tindak pidana korupsi.

Syarat yang ditetapkan berdasarkan subjek hukum adalah, subjek hukum tidak pernah dihukum berdasarkan undang-undang tindak pidana korupsi, subjek hukum tidak pernah dihukum berdasarkan ketentuan hukum pidana umum lainnya yang berkaitan dengan harta kekayaan antara lain penipuan dan penggelapan, subjek hukum tidak pernah ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi yang perkaranya dihentikan di tingkat penyidikan atau penuntutan dengan alasan telah ada pengambalian kerugian negara dan alasan-alasan serupa lainnya berdasarkan kebijakan denda damai ini, subjek hukum tidak pernah menjadi terduga dalam suatu penyelidikan yang penyelidikannya dihentikan berdasarkan alasan-alasan yang terdapat kebijakan denda damai ini.

Roberth juga mengurai soal tahapan, mekanisme dan penetapan sanksi dalam mediasi penal perkara korupsi yang nilai kerugian keuangan negara kecil.

Mengenai tahapan penanganan perkara, menurut Roberth, kebijakan penyelesaian perkara korupsi bernilai kerugian negara kecil sebagai bagian politik hukum kejaksaan mengimplemtasikan prinsip dominis litis tidak dimaknai semata-mata hanya dilakukan Penuntut Umum dalam tahap penuntutan.

Menurutnya, teori dan praktek dalam dunia internasional pada umumnya tidak memisahkan secara tajam fungsi-fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan seperti prinsip differensial fungsional yang dianut KUHAP.

Penuntutan dalam pandangan secara umum tidak terlepas dari penyelidikan dan penyidikan. Dalam praktek banyak negara tindakan penyelidikan dan penyidikan dilakukan di bawah supervise oleh penuntut umum atau dapat juga dipimpin langsung oleh penuntut umum.

Mendasari hal ini, Roberth berpendapat, kebijakan penyelesaian perkara korupsi bernilai kerugian negara kecil melalui skema denda damai yang dikombinasikan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam plea bargaining dilakukan dalam seluruh tahapan penangangan perkara baik itu penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan.

Dalam tahap penyelidikan atau penyidikan, menurut Roberth, atas kuasa penuntut umum, penyelidik dan penyidik dapat melakukan upaya penyelesaian perkara korupsi bernilai kecil di luar persidangan dengan berpedoman pada syarat-syarat dan mekanisme yang diatur dalam peraturan kebijakan yang ada.

Makna atas kuasa penuntut umum yang dimaksud adalah berdasarkan hukum seperti halnya dalam pasal 205 ayat 2 KUHAP sehingga tidak

didasarkan pada suatu kuasa tertulis.

Dalam tahap penuntutan, penuntut umum melakukan upaya penyelesaian perkara korupsi bernilai kecil di luar persidangan dengan berpedoman pada syarat-syarat dan mekanisme yang diatur dalam peraturan kebijakan.

Roberth juga mengurai tentang mekanisme mediasi penal perkara korupsi yang nilai kerugian keuangan negara kecil dalam tiap tahapan penangan perkara.

Mengenai pengajuan penawaran proses denda damai, Roberth berpendapat, dalam setiap tahapan penangangan perkara baik penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan, pengajuan penawaran proses denda damai dapat dilakukan berdasarkan inisiatif pihak-pihak terkait dengan perkara korupsi (terduga, tersangka atau terdakwa) atau berdasarkan inisiatif pejabat yang berwenang dalam tiap tahapan perkara (penyelidik, penyidik, penuntut umum).

Penawaran proses denda damai sebagai inisiatif pihak-pihak terkait harus dilakukan secara tertulis dengan menyampaikan alasan dan syarat-syarat yang dapat dipenuhi agar perkara korupsi dimaksud dapat diselesaikan melalui Denda Damai.

Pejabat yang berwenang pada semua tingkatan penanganan perkara mempelajari penawaran tersebut, dan apabila penawaran tersebut memenuhi kriteria yang ditentukan dalam peraturan kebijakan maka dapat disetujui untuk dilanjutkan pada proses negosiasi.

Bila penawaran tersebut tidak seseuai dengan kriteria yang ditetapkan maka penawaran tersebut ditolak dan penanganan perkara dilanjutkan.

Dalam hal berdasarkan analisa dan kajian pejabat dalam setiap tingkatan perkara, perkara korupsi yang sedang ditangani memenuhi syarat-syarat untuk dilakukan penyelesaiannya di luar persidangan melalui denda damai, penyelidik/penyidik/penuntut umum dalam masing-masing tahapan dapat berinisiatif mengajukan penawaran denda damai kepada pihak-pihak terkait.

Apabila pihak terkait menyetujuinya maka dilanjutkan pada tahapan denda damai selanjutnya yaitu negosiasi, sedangkan bila para pihak menolak penawaran tersebut, penanganan perkara dilanjutkan sesuai hukum acara yang berlaku.

Penawaran denda damai oleh pejabat dan keputusan para pihak baik berupa penolakan atau persetujuan dituangkan dalam suatu berita acara.

Mengenai proses negosiasi, menurut Roberth, proses negosiasi terjadi dengan melibatkan pejabat yang berwenang dalam masing-masing tingkatan penanganan perkara dengan dihadiri pihak

terkait (terduga, tersangka/terdakwa) dengan atau tanpa penasihat hukumnya.

Dalam proses negosiasi dibicarakan hal-hal terkait masalah kesediaan pihak-pihak terkait (terduga, tersangka, terdakwa) membuat pengakuan bersalah dengan menyebutkan alasannya yang

dituangkan dalam surat pengakuan bersalah.

Kemudian, kesanggupan untuk mengembalikan total kerugian keuangan negara yang terjadi atau jumlah uang yang diterima dalam tindak korupsi suap dan gratifikasi atau tindak pidana korupsi pemerasan.

Adapula kesanggupan membayar nilai denda damai yang ditentukan, kemudian dalam hal ditentukan adanya perampasan, negosiasi mencakup kesediaan menyerahkan barang yang dikenai perampasan itu, atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat tersebut.

Termasuk, kesangupan atau kesediaan menerima sanksi lain yang diberikan, misalnya pengumuman pengakuan bersalah melalui media massa dengan biaya yang ditanggung pihak terkait, kesediaan untuk perusahaannya direkomendasikan dalam daftar hitam (black list) dalam jangka waktu tertentu, kesediaan untuk direkomendasikan diperiksa oleh aparat pengawasan initernal dengan menerima hukuman adminstratif terntu, dan juga jangka waktu bagi para pihak untuk melaksanakan kewajibannya.

Masih menurut Roberth Lambila, negosiasi berujung pada dua kesimpulan yaitu adanya kesepakatan terhadap syarat-syarat yang ditawarkan dan ketidaksepakatan.

Dalam hal terjadi kesepakatan maka proses selanjutnya dibuatkan ketetapan penyelesaian perkara di luar persidangan melalui denda damai dan melakukan eksekusi kesepakatan sesuai dengan jangka waktu yang disepakati.

Apabila terdapat butir-butir dari kesepakatan yang tidak dilaksanakan dalam batas waktu yang telah ditetapkan maka ketetapan penyelesaian perkara di luar persidangan batal demi hukum dan perkara dilanjutkan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Demikian juga jika negosiasi tidak menghasilkan kesepakatan maka perkara dilanjutkan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

Mengenai penetapan besaran denda damai, dan bentuk-bentuk jenis sanksi lainnya, Roberth menjelaskan, bahwa terkait denda damai, terdapat setidaknya dua pilihan metode yang dapat dipilih sebagai cara menentukan besaran nilai denda damai dalam perkara korupsi.

Pertama, dengan merujuk pada cara penetapan denda damai dalam pasal 82 KUHP dan pasal 29 Recht Ordonantie yaitu berdasarkan jumlah denda maksimal seperti yang ditetapkan dalam tindak pidana yang bersangkutan.

Kedua, berdasarkan metode yang digunakan dalam pasal 44 B Undang-Undang Perpajakan yaitu 4 kali jumlah pajak yang tidak dibayarkan atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Metode pertama bertumpu pada ancaman pidana denda yang ditentukan dalam delik yang bersangkutan sedangkan cara kedua bertumpu pada nilai kerugian yang ditimbulkan.

Dua metode penentuan nilai denda tersebut dapat diterapkan secara bersamaan dalam kebijakan denda damai perkara korupsi berdasarkan kategori jenis tindak pidana, nilai kerugian dan nilai hasil kejahatan yang diperoleh.

Penentuan nilai denda damai didahului dengan nilai dasar yang menjadi patokan untuk kemudian secara proporsional menetukan nilai denda yang harus dibayar, misalnya dengan menentukan 1 kali atau dua kali dari nilai dasar tersebut seperti dalam denda damai tindak pidana perpajakan.

Penetapan nilai dasar denda damai sebagai bentuk konkrit yang diusulkan Roberth, sebagai berikut:

  1. Untuk jenis perkara tindak pidana korupsi merugikan keuangan

negara dengan nilai kerugian sampai dengan Rp.100.000.000, dasar penetapan nilai denda adalah nilai kerugian keuangan negara.

  1. Untuk jenis perkara tindak pidana korupsi merugikan keuangan

negara dengan nilai kerugian diatas Rp100.000.000 sampai dengan Rp1.000.000.000, dasar penetapan nilai denda adalah nilai minimum denda yang diatur dalam masing-masing pasal tindak pidana.

  1. Untuk jenis tindak pidana merugikan keuangan lainnya yang

tidak dapat dibuktikan nilai kerugian keuangan negara, dasar

penetapan nilai denda adalah nilai minimum denda yang diatur

dalam masing-masing pasal tindak pidana.

  1. Untuk jenis tindak pidana penyuapan, gratifikasi dan pemerasan dasar penetapan denda adalah ancaman minimum denda yang terdapat dalam masing-masing pasal pidana.

Mengenai jenis sanksi lain pelaksansaan denda damai, menurut Roberth, selain syarat adanya pengembalian kerugian keuangan negara dan atau keuntungan yang diperoleh dari jenis tindak pidana korupsi suap, gratifikasi dan pemerasan, syarat pembayaran nilai denda sebagai sanksi, terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi yang proses penyelesaiannya melalui denda damai harus dikenai sanksi lain yaitu pengumuman pengakuan bersalah melakukan tindak pidana korupsi melalui media massa.

Selain itu dapat juga dikenai sanksi tambahan lain yang bersifat administratif, misalnya bagi pengusaha menyetujui untuk perusahaannya dimasukan dalam daftar hitam (black list), dan bagi pegawai negeri direkomendasikan menjalani pemeriksaan oleh APIP dengan rekomendasi hukuman tertentu dalam hal sebelumnya belum ada putusan APIP mengenai perkara tersebut.

Dari seluruh ide dan gagasannya ini, Roberth Lambila berkesimpulan bahwa mekanisme kebijakan penyelesaian perkara korupsi yang bernilai kerugian negara kecil secara efektif dan efisien dapat dilakukan dengan konsep denda damai yang dikombinasikan dengan mengadopsi prinsip-prinsip plea bargaining.

Kebijakan tersebut menurut dia, harus tertuang dalam Peraturan Kejaksaan dengan merumuskan secara lengkap, jelas dan tegas mengenai syarat-syarat, mekanisme dan sanksi yang dapat diterapkan dalam proses penyelesaian perkara korupsi di luar pengadilan tersebut baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Tidak hanya itu, penyelesaian perkara korupsi di luar pengadilan ini diawali dengan proses pengajuan penawaran, negosiasi dan kesimpulan negosiasi, baik itu sepakat atau tidak sepakat.

Kemudian, penetapan nilai denda damai dilakukan berdasarkan ketogori jenis tindak pidana yaitu penetapan berdasarkan ancaman denda dalam delik yang bersangkutan dan penetapan berdasarkan nilai kerugian atau keuntungan yang diperoleh.

Selain denda damai, pengembalian kerugian keuangan negara, terdapat sanksi lain yang juga dapat diterapkan yaitu pengumuman pengakuan bersalah melakukan tindak pidana korupsi melalui media massa dan/atau beberapa jenis sanksi andminstratif lainnya sebagai pengganti pidana.

Roberth Lambila juga menyarankan agar diterbitkan Peraturan Kejaksaan sebagai pedoman umum penyelesain perkara korupsi bernilai kerugian kecil yang berlaku di lingkungan Kejaksaan melalui pendekatan konsep denda damai dan plea bargaining seperti yang diusulkannya. (bet)

error: Content is protected !!