KUPANG, PENATIMOR – Indonesia Corruption Wath (ICW) bersama Jaringan Masyarakat Antikorupsi (Jangkar) Nusa Tenggara Timur (NTT) dan AJI Kota Kupang menggelar diskusi terkait polemik pengadaan pakaian seragam di Kota Kupang yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19.
Diskusi digelar di Restoran In and Out Jalan Timor Raya Kota Kupang dihadiri oleh sejumlah wartawan.
Dani Manu, Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK NTT yang juga anggota Jangkar NTT, membeberkan sejumlah fakta bahwa selama tiga tahun terakhir, pemerintah Kota Kupang mengalokasikan anggaran dari APBD untuk pengadaan pakaian seragam bagi siswa SD dan SMP.
Tahun 2019 mengalokasikan Rp 6 miliar lebih untuk 58.459 siswa dari 54 SMP (negeri dan swasta), 143 SD (negeri dan swasta), dan 112 TK, namun ada sekolah yang menolak bantuan.
Kemudian tahun 2020, Pemkot Kupang mengalokasikan Rp 11 miliar untuk pengadaan seragam dengan perincian Rp 5 miliar untuk pakaian seragam, Rp 5 miliar untuk tas sekolah dan Rp 1 miliar untuk buku tulis.
Tahun 2021 Pemkot Kupang mengalokasikan anggaran Rp 7 miliar untuk pengadaan seragam.
Menurut Dani, pengadaan pakaian seragam di tahun 2020 diperuntukan bagi murid kelas II SD hingga Kelas VI SD dan SMP hanya kelas VII dan VIII.
Program pengadaan pakaian seragam ini berangkat dari niatan tulus membantu anak-anak dari orangtua yang kurang mampu, dan dilakukan tanpa tebang pilih.
Namun program pengadaan pakaian seragam ini patut dipertanyakan karena dilakukan di tengah pandemi Covid-19.
Padahal pakaian seragam bukanlah hal yang harus diprioritaskan pada saat pandemi Covid-19.
Beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi yakni sekolah pada saat pandemi dilakukan dengan cara work from home (WFH).
Beberapa sekolah menggunakan media zoom meeting dalam pengajarannya dan mengharuskan semua siswa menggunakan seragam pada saat zoom meeting.
Namun sebagian besar sekolah secara khusus sekolah negeri memakai pendekatan pengerjaan tugas melalui google classroom dan youtube, yang tidak mengharuskan memakai pakaian seragam.
Karena itu, pengadaan pakaian seragam menjadi mubasir. Begitu juga dengan pengadaan tas dan buku tulis, karena siswa diminta mengerjakan melalui media online google classroom.
Terkait hal itu, pemerintah mengatakan program ini telah direncanakan sebelum adanya pandemi, sehingga walaupun dinilai tidak tepat sasaran karena sejak Maret 2020 semua kegiatan di sekolah dihentikan karena pandemi Covid-19, dan kegiatan belajar mengajar dilakukan secara online.
Namun pemerintah tetap mendistribusikan bantuan ini, karena sudah sesuai perencanaannya.
Pengadaan pakaian seragam tidak didasarkan pada analisis kebutuhan, tetapi hanya berdasarkan pengalaman empirik waktu pemerintah ketika bertemu masyarakat.
Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang juga menyatakan, anak-anak yang orang tuanya mampu tidak usah menerima bantuan itu atau kalau merasa tidak butuh, sebaiknya dikembalikan agar bisa disalurkan kepada anak-anak yang lain.
Selain itu, pengadaan dan pendistribusian, tidak diikuti dengan pendataan secara akurat terkait jumlah siswa dan berdasarkan ukuran pakaian seragam.
Hal ini berdampak pada banyak siswa yang mendapatkan pakaian seragam (dengan mengisi daftar pengambilan seragam) namun seragam tersebut tidak dapat digunakan, karena kekecilan maupun kebesaran.
Johanis Seo, Ketua Devisi Advokasi AJI Kota Kupang mengatakan, menemukan fakta di lapangan, ada siswa berasal dari keluarga mampu, juga menerima pakaian seragam.
Selain itu, banyak siswa tidak dapat memakai seragam yang dibagikan karena tidak sesuai dengan ukuran badan anak. Banyak anak akhirnya menyimpan pakaian seragam di lemari.
Peneliti ICW, Tibiko Zabar mengatakan rata-rata 40 persen kasus korupsi di Indonesia didominasi pengadaan barang dan jasa.
Kondisi inilah yang membuat sektor pengadaan barang dan jasa jadi lahan basah karena ditemukan banyak praktek kejahatan.
Tibiko mempertanyakan apa sebetulnya esensi dari pengadaan pakaian seragam bagi siswa yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19.
Dia menduga kemungkinan pengadaan pakaian seragam akibat perencanaan yang tidak akurat.
Menurutnya, pengadaan pakaian seragam tidak tepat sasaran karena tidak berdasarkan kebutuhan riil siswa. Kondisi seperti ini yang mestinya ditindaklanjuti oleh Inspektorat Kota Kupang.
Selain itu, hampir dua tahun ini pemerintah diminta fokus pada penanganan pandemi salah satu wujudnya adalah kebijakan menganai realokasi dan refocusing anggaran.
Karena itu, proses pengadaan pakaian seragam di tengah pandemi ini jadi sebuah pertanyaan besar. Apakah pengadaan pakaian seragam itu sangat krusial?
Kemungkinan siswa membutuhkan pendukung komunikasi karena anak-anak yang kesulitan belajar dari rumah. (*/wil)