Visum Dokter Dinilai Kaburkan Penyebab Kematian Ansel Wora

Visum Dokter Dinilai Kaburkan Penyebab Kematian Ansel Wora

Jakarta, penatimor.com – Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTT, pada tanggal 21 Februati 2020 telah mengumumkan penghentian penanganan kasus dugaan pembunuhan almarhum Anselmus Wora, seorang ASN pada Dinas Perhubungan Kabupaten Ende, Provinsi NTT, yang ditemukan mati secara tidak wajar pada tanggal 31 Oktober 2019, pukul 23.00 Wita di Dusun Ekoreko, Desa Rorurangga, Kecamatan Pulau Ende Kabupaten Ende, sekaligus pengumuman hasil otopsi sebagaimana tertuang di dalam Visum Et Repertum Nomor: R/023/VeR/XII/2019/Pusdokkes, tertanggal 18 Desember 2019.

Koordinator TPDI Petrus Salestinus, menilai pengumuman penghentian penanganan kasus ini ibarat petir di siang bolong bagi masyarakat Kota Ende dan para diaspora NTT di Jakarta, karena dilakukan usai penyidik Ditreskrimum Polda NTT melakukan gelar perkara dan hasilnya merekomendasikan bahwa kasus dugaan pembunuhan korban Anselmus Wora, dihentikan penyidikannya, karena tidak cukup bukti yang mengarah pada dugaan pembunuhan dengan merujuk kepada Visum Et Repertum (VER) Dokter Spesial Ahli Forensik Pudokkes Polri dr. Ni Luh Putu Eny Astuty Sp.F.

Padahal Visum Et Repertum (VER) Nomor: R/023/VeR/XII/2019/Pusdokkes, tanggal 18 Desember 2019, mengungkap fakta-fakta adanya luka robek pada puncak kepala sebagai akibat kekerasan tumpul, ada resapan darah pada hampir seluruh bagian bawah kulit kepala, kemerahan pada tulang dahi dan pada otak mengalami pendarahan akibat kekerasan tumpul, namun fakta-fakta yang mencengangkan itu menjadi tidak bernilai karena kesimpulan dr. Ni.

Luh Putu Eny Astuty, Sp.F mengunci dengan kesimpulan bahwa penyebab kematian korban tidak dapat ditentukan karena jenazah sudah mengalami pembusukan lanjutan.

AMBIGUITAS VISUM ET REPERTUM

Meskipun VER dokter spesialis forensik Pusdokkes Polri telah mengungkap fakta adanya kekerasan tumpul pada bagian kepala korban Anselmus Wora sebagaimana dapat dibaca pada kesimpulan VER butir 2 b dan c, tentang pemeriksaan luar dan pada butir 3 c, d, f bahwa terjadi kekerasan tumpul pada bagian kepala, dapat menyebabkan kematian, namun anehnya dokter spesialis forensik pada butir 4 kesimpulannya membuat kesimpulan ambigu dengan bahwa “penyebab kematian korban tidak dapat ditentukan karena jenazah sudah mengalami pembusukan lanjutan”.

Di lain pihak menurut Petrus Salestinus, dokter spesial forensik menyimpulkan bahwa trauma tumpul pada kepala yang menyebabkan pendarahan pada otak dapat menyebabkan kematian.

Juga pada Bagian II VER tentang pemeriksaan luar menyebutkan bahwa ada tanda-tanda kekerasan pada (dahi, pipi, mata, hidung, mulut, dagu, telinga, dada dan perut) namun tanda-tanda kekerasan itu sulit dievaluasi.

“Di sini dokter ahli mengakui adanya kekerasan tumpul pada sejumlah tempat akan tetapi sulit dilakukan evaluasi,” kata Petrus.

Sedangkan pada bagian paru-paru dan jantung di dalam VER disebutkan bahwa pemeriksaan patologi anatomi di Instalasi Anatomi Patologi RSUD Prof. W.Z. Johanes Kupang dikatakan pada potongan paru-paru dan jantung tidak didapatkan kelainan nyata pada sampel jaringan paru.

“Lalu mengapa ahli forensik Polri dr. Arif Wahyono Sp.F dihadirkan sebagai second opinion (pembanding) mengatakan bahwa korban meninggal akibat penyakit jantung, artinya memperlemah VER Dokter Forensik dr. Ni Luh Putu Eny Astuty, Sp.F.,” ungkap Petrus Salestinus.

SECOND OPINION dr. ARIEF WAHYONO, Sp.F. MENEGASIKAN VER

Petrus Salestinus menyebutkan, pendapat dr. Arief Wahyono, Sp.F sebagai second opinion hanya memperkeruh hasil VER dimana korban (alm. Anselmus Wora), dikatakan penyebab alm. Ansel Wora meninggal ada pada penyakitnya sendiri bukan karena pengaruh benda tumpul di kepala.

dr Arief mengatakan, kekerasan tumpul yang terjadi di kepala korban dan pendarahan otak tidak ada kaitannya, karena jika kematian akibat pembunuhan maka seharusnya tengkorak kepala korban rusak.

Terdapat tiga pihak yang secara sistematis bersikap saling melengkapi untuk memperlemah hasil penyidikan kearah tidak terungkapnya sebab-sebab kematian karena dugaan pembunuhan,  masing-masing:

Dari sisi Penyidik :
Hasil VER tertanggal 18 Desember 2019 mengungkap fakta-fakta adanya kekerasan tumpul sebagai penyebab kematian tetapi justru penyidikannya dihentikan, padahal tidak ada urgensi untuk menutup penyidikan kasus ini selain karena belum ditetapkan siapa tersangkanya, juga penyidik belum mendalami dan mengelaborasi keterangan saksi di TKP dan temuan otopsi tentang kekerasan tumpul pada kepala korban.

Dari sisi Ahli Forensik dr. Ni Luh Putu Eny Astuty, Sp.F terdapat sikap ambigu, dimana ada temuan fakta-fakta kekerasan benda tumpul pada kepala korban dapat menyebabkan kematian tetapi ada juga pernyataan bahwa penyebab kematian korban tidak dapat ditentukan karena jenazah sudah mengalami pembusukan lanjut.

“Di sini tampak sikap tidak jujur dari dr. Ni Luh Putu Eny Astuty Sp.F, yang meskipun sudah tahu bahwa jenazah yang sudah dikubur kurang dari 1 bulan atau sudah  20 (dua puluh) hari kondisinya sudah mengalami pembusukan lanjut, karenanya otopsi jenazah sudah tidak mungkin dapat dilakukan, namun dokter tetap memaksakan diri melakukan ekshumasi dan otopsi jenazah almarhum Anselmus Wora,” tandas Petrus.

Di samping itu, Petrus menilai dua dokter dari satu institusi mengeluarkan pendapat berbeda, artinya dr. Ni Luh Putu Eny Astuty, Sp.F kesimpulannya dalam VER sedangkan Second Opinion dr. Arief Wahyono, Sp.F, dikatakan bahwa kematian korban alm. Anselmus Wora bukan disebabkan oleh kekerasan tumpul sebagaimana dimaksud dalam VER, akan tetapi disebabkan oleh penyakit jantung yang diderita oleh alm. Anselmus Wora.

“Ini sebagai pendapat yang sekaligus membantah VER yang menyatakan bahwa pada potongan paru-paru dan jantung tidak didapatkan kelainan nyata,” imbuh Petrus.

Dengan demikian kata Petrus Salestinus, kesimpulan dr. Ni Luh Putu Eny Astuty, Sp.F, pada VER sangat paradoksal dan ambigu, tidak netral, tidak profesional dan tidak taat pada Kode Etik Kedokteran karena menegasikan fakta-fakta adanya kekerasan tumpul yang dapat menyebabkan kematian.

“Dengan kata lain, ekshumasi dan otopsi jenazah alm. Anselmus Wora tidak bertujuan untuk mengungkap kebenaran materil tetang sebab-sebab kematian korban, melainkan hanya untuk kepentingan lain di luar kepentingan penegakan hukum,” pungkas Petrus Salestinus yang juga advokat senior Peradi di Jakarta. (wil)

error: Content is protected !!