KUPANG, PENATIMOR – Pihak Polda NTT menyatakan keputusan penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terkait laporan BPR Christa Jaya melalui Junus Laiskodat sudah sesuai prosedur.
Jika pihak penasihat hukum BPR Christa Jaya menolak keputusan tersebut, tentunya ada langkah hukum yang bisa ditempuh sesuai Undang-Undang.
Dengan demikian, keputusan penyidik menerbitkan SP3 sudah sesuai aturan yang berlaku.
Hal itu dikatakan Kapolda NTT Irjen Pol Setyo Budiyanto melalui Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda NTT Kombes Pol Rishian Krisna yang ditemui di ruang kerjanya, Senin (24/2/2022).
Menurut Kombes Pol Krisna, mengacu pada Pasal 1 angka 2 KUHAP maka penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk mengumpulkan alat bukti sehingga membuat terang sebuah tindak pidana serta menemukan tersangkanya.
Di sisi yang lain, jelas Kombes Pol Krisna, mengacu pada KUHAP, maka tentang SP3 ini hanya diatur dalam 1 pasal dan 1 ayat yaitu Pasal 109 ayat (2).
Dari pasal tersebut disebutkan bahwa alasan terbitnya SP3 yakni karena, tidak cukup bukti, peristiwa tersebut bukan tindak pidana dan demi hukum.
“Jadi dalam konteks itu, penyidik memiliki tiga alasan untuk mengeluarkan SP3, sehingga apa yang dilakukan penyidik merupakan langkah yang sudah sesuai aturan yang berlaku,” jelas Kombes Pol Krisna.
Ketika ditanya bahwa sebelum dikeluarkannya SP3 oleh penyidik ada surat dari Bareskrim maupun rekomendasi dari Itwasda Polda NTT terkait kasus tersebut untuk ditindaklanjuti secara hukum.
Menurut dia, rekomendasi yang diberikan tidak mengesampingkan otoritas yuridiksi yang diberikan oleh aturan kepada penyidik, karena penyidik yang lebih memahami konstruksi kasus tersebut, sehingga dikeluarkanlah SP3 itu.
Tinjau Kembali SP3
Menanggapi hal tersebut, penasihat hukum BPR Christa Jaya Samuel David Adoe dan Bildad Torino M Thonak bersurat ke Kapolri, Irwasum, Bareskrim, Kadiv Propam dan Karowassidik untuk meninjau kembali SP3 yang telah dikeluarkan Dirreskrimum Polda NTT tersebut.
Dalam surat tersebut, Samuel Adoe dan Bildad Thonak, menyebutkan, sesuai Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dari Bareskrim Mabes Polri dengan Nomor: B/9972/XI/RES.7.5./2021/Bareskrim Mabes Polri pada poin 2, kesimpulan a1 yang menyatakan bahwa Laporan Polisi Nomor: LP/B/52/II/2019/SPKT, tanggal 14 Ferbruari 2019 di Ditreskrimum Polda NTT tentang dugaan tindak pidana penggelapan dalam jabatan
dan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 374 KUHP Jo pasal 52 Jo pasal 372 KUHP atas nama pelapor BPR Cgrista Jaya dan atas nama Terlapor Albert Wilson Riwu Kore yang ditangani oleh Penyidik Ditreskrimum Polda NTT, telah terpenuhi unsur tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 374 KUHP Jo Pasal 372 KUHP dan masih perlu melengkapi alat bukti.
Sudah begitu, menurut penasihat hukum Bildad Thonak, hasil klarifikasi pengaduan yang dilayangkan advokat kepada Itwasda Polda NTT melalui suratnya Nomor B/2724/XII/WAS.2.4/2021/Itwasda disebutkan bahwa telah dilaksanakan gelar perkara pada tanggal 4 Oktober 2021 dengan rekomendasi gelar, terlapor Albert Wilson Riwu Kore ditetapkan sebagai tersangka.
“Jadi sebelum kami melakukan praperadilan, kami memakai jalur pengaduan masyarakat (Dumas) ke Mabes Polri. Setelah ada jawaban dari Mabes Polri barulah kita akan memperhatikan langkah selanjutnya yaitu melakukan praperadilan terkait keluarnya SP-3 dalam kasus tersebut,” kata Bildad Thonak.
Terpisah, Albert Wilson Riwu Kore, mengatakan, pihaknya akan membuat laporan terbaru terkait dengan dikeluarkannya SP3 laporan polisi oleh BPR Christa Jaya tersebut.
“Apa yang dilakukan pihak BPR Christa Jaya merupakan hak hukum dan sebagai pribadi yang dirugikan, pihaknya juga memiliki hak hukum yang sama,” tandas Albert. (wil)