MATARAM, PENATIMOR – Era digital saat ini membentuk sebuah disrupsi baru dalam dunia komunikasi dan penyiaran di Indonesia.
Kehadiran generasi millenial dan gen Z menjadi penting sebagai penggerak literasi media dalam era digital ini.
Tak hanya itu, masyarakat pun perlu siap dalam menerima literasi media.
“Literasi media tidak ada manfaatnya jika yang mau diliterasi tidak siap, untuk mempersiapkan itu peran organisasi seperti KOHATI dan PB HMI menjadi sangat penting. Jadi yang harus melek itu bukan individunya saja, akan tetapi organisasinya harus melek terlebih dahulu,” jelas Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Drs. Wiryanta, M.A., Ph.D dalam kegiatan Dialog Interaktif “Literasi Media dan Pembangunan Demokrasi Indonesia” pada Senin (28/3/2022).
Dalam acara yang diselenggarakan atas kerja sama Kementerian Komunikasi dan Informatika dan KOHATI (Korps HMI-Wati) di Kota Mataram tersebut, Wiryanta juga membahas mengenai Program Analog Switch Off yang menjadi salah satu program Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini.
“Contohnya ASO, yang sudah sejak lama pemerintah terus melakukan literasi tentang pemanfaatan penyiaran digital dan ini membutuhkan watu yang cukup lama untuk mengedukasi masyarakat berubah dari siaran analog ke siaran digital,” ungkap Wiryanta.
Dalam forum yang sama, Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Lathifa Al Anshori, lebih menekankan tantangan bagi Generasi Z dan Milenial di era digitalisasi ini.
Peran Gen Z dan Millenial menjadi sangat penting karena saat ini sudah mengisi lebih dari 58% ruang digital di Indonesia.
Dengan meiliki akses yang cukup mudah ke media baik itu media massa maupun media online generasi Z dan millennial memiliki tantangan sendiri di era digital ini.
“Tantangan pertama bagi generasi saat ini adalah disorientasi jika mendapatkan informasi yang salah, salah satu penyebabnya adalah sering mengakses media sosial,” jelas Lathifa.
“Tantangan kedua adalah mental health. Hal ini seringkali disebabkan karena para pemuda tidak mampu mengartikulasikan perasaannya. Dan yang ketiga adalah merasa rendah diri karena tidak bisa mengikuti tren dan ini dipicu dari interaksi di media sosial,” tambahnya.
Lathifa juga memberikan cara untuk mengatasi tantangan bagi para pemuda dan pemudi di era digtal ini. Yang terpenting adalah bagaimana percaya diri dengan apa yang ada di dalam diri jangan sampai terbawa dengan informasi menyesatkan yang beredar di media sosial.
“Jangan khawatir dalam menghadapi tantangan ini yang pertama, membentuk jaringan mental support, kita harus mendukung hal baik di media sosial. Kedua, meningkatkan daya tawar/ leverage, caranya dengan mengakses informasi terpercaya dari sumber yang terpercaya. Yang ketiga, melawan hoaks dengan sadar, jangan melawan hoaks dengan hoaks, lawan dengan berita baik dan jangan lupa semangat yang tinggi dari anak muda harus disertai dengan kesabaran,” jelas Lathifa.
Salah satu cara melawan hoaks adalah dengan memilih siaran yang sehat. Di sinilaj peran KPI dalam mewujudkan penyiaran yang sehat untuk seluruh masyarakat.
“Tayangan yang sifatnya ekploitatif harus dihindari di dalam tayangan penyiaran kita. Hindari pula yang dapat menjadi pemicu tindakan diskriminatif di tengah masyarakat,” jelas Nuning Rodiyah sebagai Komisioner Penyiaran Indonesia.
Mengingat genre hiburan masih menjadi daya tarik utama masyarkat kita, KPI pun terus mengajak untuk terus memasukan pesan-pesan positif dalam tayangan bergenre hiburan tersebut.
“Dengan demikiam, dapat menimbulkan kesadaran di masyarakat,” tambahnya.
Acara dialog interaktif pun ditutup dengan sesi tanya jawab antara peserta dan narasumber yang hadir di Taman Budaya NTB tersebut. Para peserta yang hadir adalah mayoritas perempuan yang merupakan anggota KOHATI, sebagai bentuk kolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam melakukan literasi media digital di tengah masyarakat. (*/ana)