Putusan Kepemilikan Tanah Pagar Panjang dan Danau Ina Diduga Direkayasa

Putusan Kepemilikan Tanah Pagar Panjang dan Danau Ina Diduga Direkayasa

KUPANG, PENATIMOR – Putusan kepemilikan tanah Pagar Panjang dan Danau Ina di wilayah Kota Kupang diduga merupakan hasil rekayasa.

Hal ini dikatakan Thobias Mesah selaku kuasa hukum dari Piet Konay, kepada wartawan di Kupang, Minggu (29/8/2021) petang.

Thobias mengurai awal mula terjadinya perkara sengketa tanah Pagar Panjang, yaitu pada tahun 1989 di mana penggugatnya adalah Esau Konay, Santi Konay, Juliana Konay dan Zakarias Bertolomeus Konay.

Saat gugat menggugat itu, ada permintaan petitum sebanyak 17 poin dari Esau Konay, namun satu poin yang dikabulkan, yakni Esau Konay dan para penggugat merupakan ahli waris dari Johanis atau Hendrik Konay.

Sementara menyangkut dengan kepemilikan tanah, Pengadilan tidak mengabulkan hal itu.

Menurut Thobias, selama ini yang dibicarakan tentang kepemilikan tanah Pagar Panjang hanya merujuk pada nomor perkara, dan tidak pernah merujuk pada amar putusan sehingga terjadi kebohongan publik.

“Hal ini karena tidak melihat putusan dan hanya melihat nomor perkara,” kata Thobias.
Masih menurut Thobias, penjelasan Ali Antonius sangat jelas, bahwa terkait tanah itu, Piet Konay hanya sebatas penggarap yang mana dalam pertimbangan hukumnya sangat jelas bahwa tanah Pagar Panjang merupakan tanah negara bebas, sehingga Piet Konay dapat menggarap secara terus menerus menjadi miliknya.

Fakta itu terbukti bahwa pada saat pemeriksaan dimana Esau Konay dan penggugat yang lain tidak dapat membantah hal itu, sehingga Ali Antonius menerangkan bahwa hanya sebatas penggarap.

“Hal itu adalah suatu kesalahan besar dan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung pun sangat jelas, di luar dari pada amar putusan adalah ditolak. Sehingga dengan merujuk pada putusan itu dan permintaan ditolak bahwa saudara Esau Konay bukan pemilik tanah sah. Amar putusan menerangkan bahwa beliau bukan pemilik tanah yang sah, kemudian langsung melakukan eksekusi, itu kan lucu,” jelasnya.

Menurut Thobias, eksekusi pada tahun 1997 juga merupakan bagian dari akal- akalan untuk merampas tanah daripada Piter Konay.

Merujuk pada perkara tahun 1951, objeknya adalah dua serok kayu, satu serok batu, 13 pohon kelapa dan 150 pohon tuak dan satu bidang tanah kosong tidak menyebutkan lokasi tanah dimana dan luasnya berapa, terus batas-batas nya apa.

Kemudian pada tahun 1993 menurut Pengadilan bahwa Esau Konay melakukan gugatan pura-pura terhadap Kolo dan Samadara untuk mendapatkan kembali tanah, sebagaimana terurai dalam perkara tahun 1951.

Namun pada saat itu Piet Konay tidak ditarik sebagai pihak dalam perkara tahun 1993 perkara Nomor 65.

“Setelah dia menang dulu baru itu dijadikan sebagai dasar untuk melakukan eksekusi. Eksekusi di sini bukan Samadara – Kolo malah eksekusi pada Piet Konay,” jelas Thobias.

Dia melanjutkan, pada saat eksekusi itu Pengadilan Negeri pada tahun 1993 melalui penetapan Pengadilan Negeri Kupang Nomor 8 Pdt tahun 1951 PN Kupang tanggal 29 Agustus 1993 bahwa objeknya tidak jelas.
Setelah itu ada surat Ketua Pengadilan Negeri Kupang tahun 1994, dimana di situ jelas gugatan pura-pura.

Lanjutnya, pada tahun 1996 dilakukan eksekusi namun tidak pernah dilakukan eksekusi di dalam objek perkara 51.

“Dalam putusan perkara 51 hanya sebidang tanah kosong, tapi dilakukan eksekusi dua bidang tanah yaitu Danau Ina dan Pagar Panjang,” imbuhnya.

Kuasa hukum Piet Konay ini juga katakan bahwa langkah hukum yang saat ini diambil yaitu telah melakukan langkah hukum peninjauan kembali (PK).

Sementara itu dalam pemberitaan media ini sebelumnya bahwa, hak kepemilikan tanah Pagar Panjang dan Danau Ina sudah selesai dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor 64 Tahun 1993.

Dengan dasar putusan pengadilan maka tanah yang disengketakan di Pagar Panjang dan Danau Ina sudah selesai dan tanah itu milik keluarga Konay, dengan ahli waris Marthen Konay.

Hingga berita ini diterbitkan pihak keluarga Marthen Konay belum berhasil dikonfirmasi. (wil)