UTAMA  

Keluarga Pasien Buka-bukaan Soal Buruknya Penanganan Covid-19 di Kupang (1)

Keluarga Pasien Buka-bukaan Soal Buruknya Penanganan Covid-19 di Kupang (1)

Kupang, penatimor.com – Ancaman Covid-19 di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), kian masif.

Covid-19 semakin ganas dan merenggut nyawa pasien.

Bahkan, Rabu (11/11/2020), di Kota Kupang terdapat empat kematian pasien Covid.

Ini sekaligus angka kematian terbanyak pasien Covid di Kupang selama masa pandemi.

Selain kematian pasien Covid, kian banyak pula pasien baru yang terkonfirmasi positif Covid-19 di ibu kota Provinsi NTT ini.

Peningkatan yang signifikan terkait jumlah pasien Covid-19 di Kota Kupang ini tentunya ikut berdampak langsung terhadap keluarga pasien, terkhusus pada kehidupan sosial mereka di masyarakat.

Bahkan ada keluarga pasien menilai penanganan pasien Covid-19 di Kota Kupang belum maksimal.

Sorotan terhadap buruknya penangangan Covid datang dari keluarga pasien berinisial EEG yang telah meninggal dunia pada Sabtu (31/10/2020) lalu.

Elton Giri, adik kandung pasien EEG, dalam sebuah kesempatan bersama media ini, mengatakan, dari peristiwa kematian yang dialami tersebut, telah melahirkan informasi atau pemberitaan-pemberitaan yang tidak berimbang karena tidak dilengkapi dengan data yang akurat, sehingga hal itu berdampak buruk pada kehidupan sosial keluarga.

“Kami keluarga menjadi tidak nyaman dengan pemberitaan-pemberitaan di media online dan media sosial yang menurut kami itu hoax, karena tidak dilengkapi data yang akurat,” kata Elton.

Apalagi, menurut dia sesuai hasil swab terhadap 32 anggota keluarga yang melakukan kontak langsung dengan pasien semuanya negatif.

Keluarga kata Elton, juga masih mempertanyakan dan meragukan status kematian EEG, karena apabila dilihat dari rentetan keterangan medis sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Namun keluarga akhirnya memutuskan untuk tetap menjalani protokol Covid-19.

Namun setelah dua pekan pasca kematian itu, ternyata dampak sosial dan ekonomi terhadap keluarga masih sangat kuat dirasakan.

Keluarga pasien merasa ruang gerak kehidupan sosial dan ekonomi mereka dibatasi akibat status kematian oleh Covid yang dialami.

Terlepas dari dampak Covid, keluarga juga menilai bahwa penanganan Covid di Kota Kupang masih sangat longgar.

Elton mengurai, kakaknya EEG yang juga seorang doktor di Undana Kupang, karena pandemi akhirnya selalu melakukan kuliah secara virtual, sehingga tingkat kesibukannya terbilang meningkat dan sangat tinggi. Bahkan dalam sehari terkadang melakukan kuliah virtual hingga tengah malam.

Sehingga diduga mungkin karena kecapean, sehingga EEG akhirnya mengeluh tidak enak badan dan demam.

Pasien juga diketahui paling taat terhadap protokol Covid, bahkan sering melarang keluarga ke mana-mana semata-mata untuk menghindari ancaman Covid.

Namun pada Kamis (29/10/2020), EEG diantar ke dokter Tallo, dan saat itu dilayani secara virtual, kemudian diberikan obat dan diminta beristirahat.

Jumat (30/10/2020), pasien dibawa ke RS Leona, dan setelah diwawancarai terkait riwayat perjalanan, kemudian dilakukan rapid test karena juga menderita pilek dan gangguan pernapasan, namun hasilnya negatif.

Setelah itu, mungkin untuk kepentingan diagnosa, EEG diminta untuk dirontgen.

Namun karena oleh dokter jaga, gejala-gejala yang ditunjukkan EEG sudah mengarah ke Covid, sehingga pasien kemudian diisolasi.

Setelah hasil rontgen keluar, lanjut Elton Giri, keluarga dipanggil dokter, lalu disampaikan bahwa hasil rontgen menunjukkan bagian paru-paru pasien kotor dan itu mengarah ke Covid, sehingga dokter meminta pertimbangan keluarga.

“Merespon dokter, keluarga bersikap bahwa kalau memang standar penanganannya seperti itu maka tidak perlu bertanya keluarga yang awam akan hal medis,” sebut Elton.

Semenjak itu, pihak rumah sakit semakin memperketat isolasi terhadap pasien dan melakukan swab.

Hanya saja dalam ruang isolasi itu pihak keluarga diizinkan masuk hanya memakai masker dan tanpa standar alat pelindung diri yang sesuai SOP.

Kemudian sekira pukul 11.30 Wita, keluarga dipanggil dokter, dan disampaikan lagi bahwa pasien mengarah ke Covid, akan tetapi data hasil swab yang akan menetapkan pasien positif Covid atau tidak.

Pasien lalu dibawa ke ruang isolasi yang berada di lantai 5 rumah sakit. Saat itu kondisi pasien masih aktif ngobrol seperti biasa dengan keluarganya.

Pihak rumah sakit juga meminta satu orang keluarga untuk menjaga pasien di ruang isolasi, dan saat itu seorang anak pasien yang menjaga.

Selanjutnya, sekira pukul 06.00 Wita, Sabtu (31/10/2020), saat keluarga kembali ke rumah sakit, ternyata mendapati pasien sudah koma.

Menurut informasi dari anak EEG yang menjaga, sekira pukul 04.00 Wita pasien terjatuh di kamar mandi karena melepas oksigen dari mulut dan memaksakan diri ke kamar mandi. Saat itu anak yang menjaga sedang tidur.

Saat terjatuh lalu kemudian diangkat anaknya dan perawat ke tempat tidur, EEG tiba-tiba koma.

Saat pasien koma, pihak rumah sakit kembali melakukan swab kedua, hingga akhirnya sekira pukul 07.30 Wita pasien meninggal dunia.

Saat pasien meninggal, keluarga mempertanyakan tentang status kematian tersebut.

“Karena mereka bilang mengarah ke Covid, tapi tidak bisa memastikan Covid karena hasil swab kan belum keluar. Nah, mereka langsung menjudge bahwa pasien meninggal karena Covid jadi harus dikubur dengan SOP Covid, ya kita bilang okelah dilakukan dengan standar Covid. Mulai saat itu mereka langsung mempersiapkan jenazah dan mereka bilang dua jam hasil akan keluar. Tapi kami menilai dan lihat penerapan prosedur Covid ini sudah bias, karena hasil swab pertama belum keluar, dan kemudian pasien dalam keadaan koma mereka nekat untuk swab kedua, padahal hasil swab pertama belum ada. Terkesan memaksakan untuk memastikan dua alat bukti pasien meninggal karena Covid. Setelah itu, beberapa jam kemudian mereka sampaikan bahwa sudah kirim sampel ke RSUD Johannes dan mereka katakan hasil sudah keluar dan Covid. Kita juga tidak tahu, mereka periksa bagaimana, standarnya seperti apa kita tidak tahu. Jadi keluarga ikut, sehingga antarlah jenazah ke Fatukoa,” urai Elton Giri.

Keluarga EEG juga mempertanyakan, kenapa fokus penanganan Covid hanya kepada pasien yang meninggal, sementara ada 32 orang keluarga yang melakukan kontak dengan pasien tidak dilakukan penanganan apa-apa, justru dibiarkan pulang.

“Anak yang jaga pasien ini, saat pasien jatuh itu sempat memberi napas buatan. Dia tidak diberikan penanganan apa-apa, dan hasil swabnya juga negatif. Tidak ada edukasi apa-apa juga kepada keluarga setelah tiga kematian kakak kami,” kesal Elton. (wil/bersambung)