Jakarta, penatimor.com – Pimpinan Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere tidak cukup hanya meminta maaf kepada orangtua siswa Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere, Kabupaten Sikka, atas perlakuan oknum kakak kelas siswa (Senior) yang menghukum 77 Siswa memakan feses atau kotoran manusia.
Hal ini disampaikan Koordinator TPDI, Petrus Salestius kepada wartawan di Jakarta, Rabu (26/2).
Menurut Petrus, hal ini pertanda dunia pendidikan mengalami krisis peradaban (adab manusia) yang sudah melanda sekolah-sekolah yang melahirkan calon pemimoin umat, dilakukan oleh seniornya terhadap yunior-yuniornya satu asrama.
Tindakan oknum senior jelas tidak beradab dan dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya sendiri.
Aparat kepolisian kata Petrus Salestinus, harus mengusut tuntas kasus ini.
“Ini pertanda bahwa dunia pendidikan kita sedang menghadapi krisis metodologi sehingga yang sering muncul adalah perilaku kekerasan fisik atau verbal dari yang merasa sebagai raja-raja kecil terhadap yuniornya, atau ini namanya praktek memeras pengakuan untuk mendapatkan sikap jujur dari yunior-yuniornya,” sebut Petrus.
Advokat senior Peradi ini meminta pihak sekolah harus meningkatkan pengawasan, mengubah metode pengawasan dan jangan memberikan pengawasan dan pembinaan itu kepada sesama anak murid karena akan selalu muncul perasaan senioritas yang berkuasa terhadap yuniornya.
Selain itu, ada tumbuh arogansi bahkan feodalisme di lingkungan sekolah yang cepat atau lambat akan berkembang menjadi liar.
“Ide untuk memindahkan pelaku kepada sekolah lain adalah ide yang keliru, karena karakter pelaku sudah terbentuk sehingga dikhawatirkan perilaku biadab ini terjadi lagi di tempat lain,” tegas Petrus.
“Langkah terbaik serahkan pelaku kepada aparat penegak hukum untuk diproses hukum guna mendapatkan efek jera. Pihak sekolah harus membuka saluran informasi bagi anak murid kepada pimpinan sekolah sehingga ketika ada insiden di dalam sekolah mudah dikontrol. Kalau hanya sekedar melapor kepada pimpinan sekolah saja siswa tidak berani, itu berarti ada yang salah dengan metode pembinaan, karena telah melahirkan sikap pasrah, nrimo dan tidak punya mental petarung pada siswa,” imbuhnya.
Dia melanjutkan, kondisi dimana tidak ada satupun siswa yang berani melapor kepada kepala sekolah atau guru lainnya atas peristiwa memasukan kotoran di mulut 77 siswa.
Itu berarti suasana yang mencekam dalam kehidupan sehari-hari di Seminari Bunda Segala Bangsa sudah terjadi menahun, ada kondisi tidak ceriah atau rileks dalam relasi antara pimpinan sekolah, guru atau pimpinan asrama dengan anak murid di lingkungam sekolah, atau dengan kata lain suasana ceriah dan rileks yang ada hanyalah semu atau kamuflase.
“Bayangkan 77 dari 89 siswa yang mengalami siksaan oleh dua orang seniornya, tidak ada satupun yang berani bersuara meskipun sekedar untuk curhat kepada guru atau kepala sekolahnya. Kita bisa bayangkan bagaimana jika sekolah untuk calon pemimpin ymat telah membangun karakter anak didiknya dengan metode menebar ketakutan dan intimidasi secara sistimatis di dalam sebuah lembaga pendidikan, karena dampaknya adalah melahirkan ketakutan dan kecemasan permanen dalam diri siswa,” ungkap Petrus Salestinus.
Ditambahkan, buktinya 77 siswa sudah terpapar kecemasan dan ketakutan yang permanen, sebagaimana terbukti dari 77 siswa ini tidak ada satupun yang berani melaporkan kepada pimpinan sekolah atau memprotes langsung di TKP saat kejadian perkara tengah berlangsung.
“Ini berarti 77 siswa itu sudah terpapar ketakutan dan kecemasan yang permanen. Apakah kita mau Seminari Maria Bunda Segala Bangsa punya 77 calon pemimpin umat yang tidak punya mental sebagai petarung. Ini bukan sebuah insiden yang berdiri sendiri akan tetapi ini adalah dampak dari sebuah metode yang salah,” tegas Petrus. (jim)