UTAMA  

Parade Esu Kose Akhiri Festival Literasi di Nagekeo

Parade Esu Kose Akhiri Festival Literasi di Nagekeo

Mbay, penatimor.com – Ada yang unik nan menarik di puncak kegiatan Festival Literasi tahun 2019 di Kabupaten Nagekeo.

Sebanyak 1.000 wanita yang berasal dari Ndora Kecamatan Nangaroro membawa periuk/tembikar yang diletakkan di atas kepala mereka sambil berjalan memasuki lapangan berdikari di Danga Mbay tempat digelar Festival Literasi sejak Jumat (27/9/2019) hingga Senin (30/9/2019).

Wakil Gubernur NTT, Drs. Josef A Nae Soi, MM., dan sejumlah undangan baik yang berasal dari Jakarta, Kupang dan seluruh wilayah yang ada di Provinsi NTT tampak berdecak kagum; sambil sesekali tepuk tangan dan mengacungkan jempol mereka.

“Tradisi ini telah hilang hampir 40-an tahun. Hilang dari tata niaga tradisional masyatakat Nagekeo. Hari ini kita angkat kembali untuk dikenal dan diketahui oleh seluruh masyarakat yang ada di Provinsi NTT,” ucap Bupati Nagekeo, dr. Yohanes Don Bosco Do dalam ungkapan sekapur sirih dan kata terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan menyukseskan kegiatan Festival Literasi dan ditutup pada Senin, 30 September 2019.

Seperti diketahui Parade Esu Kose ini merupakan peristiwa yang terjadi berabad-abad yang lalu, berawal dari perkawinan Ine Esa dari keluarga Toto Suku Dodo, yang disebut Pasa Tu’a diambil oleh orang Ndora dulu disebut Doa dengan tagline Tana Ebu Telu, Watu ame lima, Bo’a negha gili ola, dari Suku Leawala.

Parade Esu Kose Akhiri Festival Literasi di Nagekeo

Selanjutnya prosedur adat perkawinan berjalan tertib dan lancar.

Pada saat mau kembali, nuka sa’o yaitu keluarga Toto mo’o tu ana, ada satu permintaan dari Ine Esa (Nga’o mo’o nuka sa’o, nga’o o’a, nalu nga’o ne’e teo penu : Bhada, Wea, nga’o bhia. Pihak keluarga ine ame, ngale kau ai go apa? Nga’o ai go’o “Lero Lera” yaitu Awu Podo).
Maka diberikan tanah (Awu) satu genggam, air diisi dalam bambu atau bheto.

Dibawanyalah keluarga Ndora, maka jadilah sekarang tanah periuk/tembikar (awu podo) dari satu genggam terjadilah berkembang biak sepanjang bukit Wologai, Ae ngai. Tempat ini dalam proses pengambilan tanah (awu) diawali dengan upacara adat yaitu Tu Telo, Wesa Zea yang dilakukan oleh Suku Nio (Sa’o go Ema Malo Co’o).

Sementara tempat awalnya di Nusa Wa’e (Tana Lea Wala). Dalam sejarah Suku Nio ala ne’e Owa Nena (Suku Lea Wala) da aki imu ngaza poma djawa (suku nio).

Karena itu, momentum Festival Literasi ini claster Ndora dipercayakan untuk menampilkan 1000 periuk atau tembikar
“Esu Kose”.

Esu adalah nasi yang dimasak dalam periuk dan Kose adalah daging yang dimasak di dalam bambu.

Karena itu, ketika 1.000 wanita Ndora ini membawa Esu Kose suasana di dalam festival terasa sunyi senyap dan semua undangan dan pengunjung nampak terpesona.

Bahkan sesekali terlihat para undangan berselfie ria bersama para wanita Esu Kose.

Para wanita pun hanya tersenyum simpul ketika diajak berselfie. (*/jim)