Jakarta, penatimor.com – Peristiwa mundurnya 17 Pejabat Pembuat Komitmen ( PPK) dari jabatannya karena merasa sudah tidak nyaman dalam melaksanakan tugas sebagai PPK di Kabupaten Lembata, karena sering “diintervensi” atau “dipanggil Polisi dan Jaksa” untuk diperiksa sebagaimana telah diberitakan oleh beberapa media, harus disikapi dengan bijaksana oleh Bupati Lembata.
Hal ini dikatakan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus kepada wartawan di Jakarta, Senin (9/3).
Bupati Lembata diminta menyikapi persoalan ini karena dampaknya tidak hanya terhadap kelanjutan pembangunan sebagai agenda strategis bangsa, namun juga kepada trust publik kepada para penegakan hukum.
Peristiwa dimana pada Jumat, 6 Maret 2020, 17 pejabat PPK Pemkab Lembata menemui Bupati Lembata Eliazer Yantje Sunur dan menyampaikan hal ikhwal pengunduran diri sebagai PPK.
Hal ini dinilai Petrus sebagai sebuah resistensi secara terbuka oleh pejabat PPK terhadap tindakan aparat penegak hukum yang diangggap tidak memberikan kenyamanan dan iklim yang kondusif dari aparat penegak hukum yang juga bagian dari Forkopimda yang juga memiliki fungsi mengawal tugas pembangunan.
Ke-17 pejabat PPK yang meminta mundur dari jabatannya adalah mereka yang bekerja di dinas-dinas yang strategis seperti PU, Penataan Ruang, Perhubungan dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya.
“Ini peristiwa yang unik, karena di tengah banyak orang mendewa-dewakan jabatan strategis, tetapi 17 PPK di Lembata memilih melepaskan jabatan strategisnya, hanya karena merasa sudah tidak nyaman dalam mengendalikan proyek, karena kerap dipanggil untuk diperiksa berkaitan dengan proyek yang sedang dikerjakan,” kata Petrus Salestinus.
PESAN PRESIDEN JOKOWI JANGAN GIGIT PEJABAT DAERAH
Petrus Salestinus melanjutkan, adanya panggilan oleh Polisi dan Jaksa untuk perkara yang sama atas nama penegakan hukum, hal demikian, bukan saja membingungkan akan tetapi juga sangat mengganggu kohesivias kerja tim PPK dalam menjaga kesinambungan pembangunan di daerah.
Para PPK dan OPD dalam bekerja sangat membutuhkan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum atas tugas dan tanggung jawab mereka dalam mewujudkan kelanjutan pembangunan dan agenda strategis bangsa di lingkungan Pemkab Lembata.
Beberapa PPK mengeluh karena kerap dipanggil dan dimintai keterangan oleh penegak hukum Jaksa dan Polisi. Ini membuktikan tidak adanya koordinasi pada tataran Forkopimda khususnya Polri dan Kejaksaan, sehingga terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan di lapangan.
Petrus Salestinus katakan, para pemangku PPK dan OPD itu adalah jabatan yang strategis, meski memikul beban tugas, tanggung jawab, dan risiko hukum dalam mengendalikan kontrak pembanguan di Kabupaten yang harus dijaga kontinuitasnya, namun sewaktu-waktu bisa diciduk aparat manakala terjadi penyimpangan.
Masih menurut Petrus Salestinus, Bupati Lembata Eliazer Yantje Sunur harus cerdas mengatasi problematik kevacuman jabatan PPK dan OPD yang berjumlah 17 orang, karena dikhawatirkan sikap mundur secara masal PPK akan bertambah terus dan berkembang ke Kabupaten lain di NTT.
“Ini sebagai bentuk perlawanan terhadap praktek penegakan hukum yang menjadikan PPK sebagai mesin ATM atau oleh Presiden Jokowi menyebutnya dengan “menggigit pejabat dan pengusaha daerah yang sedang berinovasi mendukung agenda strategis bangsa,” kata advokat senior Peradi di Jakarta ini.
Dia melanjutkan, peristiwa pengunduran diri seluruh PPK di Kabupaten Lembata, sebagai sikap yang berani, apalagi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN.
Sikap ini terkoneksi dengan pesan Presiden Joko Widodo, di Sentul International Convention Center Bogor, saat Rakornas Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda, tanggal 13 November 2019, agar penegak hukum jangan memeras pengusaha dan pejabat daerah, karena ini akan berdampak kepada kelanjutan pembangunan sebagai agenda strategis bangsa.
Mundurnya 17 pejabat PPK Kabupaten Lembata, juga dinilai bisa menjadi alat kontrol efektif terhadap perilaku aparat penegak hukum yang sewenang-wenang dalam menjalankan tugas di NTT.
Ini sebagai bentuk dukungan PPK terhadap pesan Presisen Jokowi pada Rapat Koordinasi Nasional Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda tanggal 13 November 2019, dimana Presiden Jokowi “Akan Copot Penegak Hukum” yang Pura-pura ‘Salah Gigit’.
INSUBORDINASI TERHADAP PESAN PRESIDEN
Masih menurut Petrus Salestinus, Presiden Jokowi dalam acara Rakornas Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda 2019 di Sentul Bogor, tanggal 13 November 2019, berulangkali ingatkan penegak hukum bahwa, “Jangan menggigit orang yang benar, kalau yang salah silakan digigit, tapi yang benar jangan sampai digigit dan jangan pura pura salah gigit”. Jangan pernah ‘menggigit’ pejabat atau pelaku bisnis yang sedang berinovasi untuk mendukung agenda strategis bangsa”.
Peristiwa 17 pejabat PPK Pemkab Lembata menyampaikan “pengunduran diri” sebagai PPK, bisa jadi terhubung dengan pesan Presiden Jokowi dalam acara Rakornas Pemerintah Pusat dan Forkopimda 2019 di Sentul Bogor, tanggal 13 November 2019.
Presiden berulangkali ingatkan penegak hukum, jangan menggigit orang yang benar, kalau yang salah silakan digigit, jangan pura pura salah gigit” dan jangan pernah ‘menggigit’ pejabat dan pelaku bisnis yang sedang berinovasi untuk mendukung agenda strategis bangsa.
Presiden Jokowi menyatakan tidak akan memberi toleransi kepada aparat hukum yang kerjaannya hanya menakut-nakuti, dan mengganggu inovasi, yang kerjaannya justru memeras birokrat dan pejabat,” kata dia, namun apa yang terjadi di Pemda Kabupaten Lembata, bisa saja tidak sesuai dengan pesan Presiden yang disampaikan berkali-kali yaitu jangan pernah menggigit pejabat dan pelaku bisnis yang sedang berinovasi membangun bangsa. Siapapun yang masih melakukan pemerasan akan dipecat.
Presiden Jokowi menyatakan tahu ada penegak hukum yang kerjaannya memeras para pejabat dan pelaku usaha, sudah banyak sekali, sudah diinventarisasi dan diperintahkan ke Kapolri, ke Jaksa Agung, tolong cek, copot, pecat, gitu saja sudah.
Adanya pemanggilan oleh Polri dan Kejaksaan untuk perkara yang sama, hal demikian sangat mengganggu kohesivitas kerja tim PPK dalam menjaga kesinambungan pembangunan, karena hampir tidak adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum atas tugas dan tanggung jawab para PPK dan OPD. (jim)