Jakarta, penatimor.com – Diperlukan kebijakan dan persepsi yang sama di kalangan aparatur daerah pada setiap kabupaten-kota di NTT tentang konstitusionalitas Sopi asli NTT agar aparat pemerintah (Polri) tidak lagi menempatkan miras Sopi sebagai produk terlarang dan haram dikonsumsi.
Hal ini disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus kepada wartawan di Jakarta, Kamis (18/4).
“Tidak boleh ada operasi penindakan miras di pasar-pasar sebagaimana selama ini terjadi, operasi penindakan miras oleh aparat kepolisian atau Sat Pol PP selama ini menunjukan bahwa belum adanya persepsi yang sama di kalangan aparat penegak hukum tentang konstitusionalitas miras, peredarannya dan penggunaannya sebagai menu sehari-hari masyarakat NTT yang sah dan dilindungi konstitusi,” kata Petrus.
Menurut advokat senior Peradi asal NTT di Jakarta ini, jika kita memperhatikan proses pembuatan miras mulai dari mengambil nira dari pohon lontar, enau atau kelapa hingga proses penyulingan untuk mendapatkan alkohol dengan kadar tertentu, dengan peralatan yang sangat sederhana (tungku dari batu-batu, periuk tanah, bambu, lilitan daun untuk menutup rapat mulut periuk dan bambu yang dipasang untuk menyalurkan uap panas ketika dimasak dengan kayu bakar), hingga mendapatkan tetesan alkohol dengan takaran kadar alkohol tertentu, maka serangkaian proses untuk menghasilkan miras ini, menggambarkan bahwa para leluhur kita sejak awal telah memiliki pengetahuan tradisional dan menguasai teknologi tradisional dengan logika tinggi, tanpa menggunakan buku panduan dan peralatan canggih lainnya.
Menurut Petrus, miras lokal NTT (Moke, Sopi atau Tuak) adalah produk hasil olahan pengetahuan dan teknologi tradisional warisan nenek moyang yang merupakan buah dari ide, gagasan dalam masyarakat yang mengandung nilai-nilai setempat sebagai hasil pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Bahkan menurut dia, pemilikan dan pewarisannya secara komunal, diakui, dirawat bahkan dijadikan sebagai salah satu menu wajib dalam setiap pesta atau pertemuan adat keluarga baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik acara resmi maupun tidak resmi.
Karena itu, lanjut Petrus, miras yang tumbuh dan berkembang di NTT jangan dipandang sebagai sebuah menu pelengkap atau sekadar asesoris dari sudut kuliner apalagi sebagai produk ilegal, akan tetapi ia mempunyai nilai magis dalam ritus upacara adat.
Miras lokal NTT ini bahkan merupakan salah satu unsur terpenting dalam setiap aktivitas ekspresi budaya tradisional masyarakat NTT dalam kehidupan ritus sehari-hari.
Munculnya operasi penindakan atas penjualan moke/sopi/arak di pasar-pasar tradisional akhir-akhir ini di beberapa kabupaten, dimana polisi menyita dan merampas miras yang diperjualbelikan di pasar tradisional, adalah tindakan yang bersifat menghina budaya NTT.
Oleh karena miras kata Petrus, bagi masyarakat NTT tidak sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tetapi lebih daripada itu miras adalah bagian dari ekspresi budaya tradisional yang dilindungi oleh Hukum Adat dan UUD 1945.
Dengan demikian, lanjut Petrus, tindakan kepolisian berupa penyitaan, perampasan dan pemusnahan terhadap miras NTT adalah perbuatan melawan hukum yang sangat merugikan dan melukai harga diri dan martabat orang NTT, menghina tradisi budaya Masyarakat NTT, karena Hukum Adat, Konstitusi 45 dan Hukum Nasional tidak melarang tindakan memproduksi, mengkonsumsi, memperjual-belikan di pasar atau di kios-kios demi memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat dan ekspresi budaya masyarakat.
Menurut Petrus, dari mana nenek moyang kita menemukan pengetahuan tradisional untuk membuat miras, siapa yang memberikan mereka ilmu atau tekonologi tradisional menyuling nira (tuak putih) untuk mendapatkan alkohol dengan kadar alkohol tertentu dan terukur dengan peralatan tradisional kemudian diwariskan terus menerus hingga ke generasi sekarang.
Dia melanjutkan, tidak banyak orang yang tahu atau tidak ada seorangpun dari kita yang tahu mengenai siapa penemu dan kemudian mengembangkan proses pembuatan miras NTT hingga diwariskan sampai kepada generasi milenial saat ini.
Namun demikian keberadaan miras NTT telah mendapatkan pengakuan di dalam Hukum Adat sebagai salah satu menu utama dalam setiap pesta adat dan ritual adat, karena secara terus menerus diwariskan secara komunal pada generasi berikutnya untuk dijadikan sebagai bagian dari kebiasaan hidup masyarakat adat hingga mendapatkan pengakuan di dalam UUD 1945 sebagai kearifan lokal yang harus dilindungi. (R4)