Oleh Bernardus Badj
Langit menyulam malam, yang nampak di cakrawala hanyalah sinar bulan dan kilauan bintang yang mampu memberi terang di hati ini.
Dalam sunyi di kamar, kusepi sendiri merajut asa. Bersama senja yang baru saja pamit aku berteman dengan secangkir kopi mane.
Dari bibir cangkir air menguap, asap mengirim aroma yang memanjakan hidung serentak mengajak untuk segera dilumat.
Dari secangkir kopi kubelajar tentang filosofi hidup. Esensi kopi hitam, pasti pahit tanpa gula dan ketika dilarutkan dengan takaran gula yang sesuai selera apalagi dengan gula merah.
Menyeruput secangkir kopi kubelajar tentang pahit dan manisnya cerita hidup yang harus kunikmat.
Meneguk secangkir kopi yang hangat secara perlahan, teguk demi tegukan lama kelamaan habis dan hanya menyisahkan ampas di dasar cangkir.
Demikianlah dengan cara kumenikmati hitam-putih, pahit-manisnya hidupku.
Ada pula misteri dibalik ampas kopi yang kunikmati itu. Ada kafein turut memberi efek bagi pencinta kopi, entah buruk maupun baik. Itulah yang kualami saat ini, susah tidur walau malam telah larut.
Namun ada baiknya ketika efek itu kujadikan peluang untuk berkelakar dengan dunia imajinasiku. Sebab kafein memaksa nalar untuk melayang, memanfaatkan tiket gratis dalam memori ingatan rapuh ini.
Sejauh nalar berenang dalam gelombang rasa akhirnya berlabuh pada kisah romansa hidupku. Tentang kisah kelasik bertemakan romantika hidup antara ‘aku dan dia dalam rangkulan asmara cinta’.
Aku mencintainya seperti angin mencintai kesegaran nan dingin, seperti hujan mencintai basah bahkan menciptakan pelangi, seperti sinar fajar mencintai mawar yang mampu mekar.
Namun nyatanya hubungan kami berakhir ditelan waktu. Berakhir karena pilihan hidup yang berbeda.
Kini yang dialami hanyalah duri tajam dari mawar indah yang mampu menggores kulit kalbu. Aku tahu dan berharap semoga dia bahagia saat dirinya jauh dari hidupku.
Aku tahu berdasarkan sabda kitab kejadian, kami memang sama-sama diciptakan dari debu dan tanah yang kotor dan pasti akan rapuh.
Karena itulah dari padanya kubutuhkan segala pemahaman dan harus menerimanya. Terkadang aku merasa bersalah jika cintaku tidak membuatnya betah karena segala kelemahan dan kerapuhan manusiawiku.
Untuk itulah diapun pergi dari hidupku. Pergi entah ke mana dan mungkin takkan kembali.
Dan kini aku pun tahu kalau cinta tak selamanya harus dimiliki. Ia datang lalu pamit pergi. Ada perjumpaan ada pula perpisahan. Kembali pada filosofi secangkir kopi, pahit-manis harus dinikmat.
*****
Kini, di balik bilik sakral saat nalar kembali berkelakar, bernostalgia dengan kisah romantika besama dia di lembaran sejarah hidupku yang telah usang dan yang telah berlalu bersama detak-detik waktu.
Saat itu pula aku terluka karena dia, dengan sehelai senyum manja khasnya yang telah terpotret di kalbuku dan tidak akan pernah hilang dalam ingatanku. Memang bayangannya tetap ada dalam ingatanku.
Namun sekejap itu pula hatiku luka, berkeping karena tidak pernah merasakan kehadiran sosok molek nan penuh kasihnya lagi.
Aku harus menerima kenyataan pahit ini, bahwa dia bukan milikku lagi. Tapi kalau boleh jujur, hati sedih karena meninggalkan atau ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintai.
Dalam kesendirianku yang ada hanyalah luapan cinta yang bertahta di relung dada, endapan rindu yang terus bernaung di balik kalbu, sudah lama nian merangkuk ke titik rindu… Yahh aku tahu kata orang rindu itu memang berat.
Bagi saya karena latar belakang ekonomi keluargaku yang lemah sekarat, aku mau katakan bahwa rinduku mungkin lebih berat dari belis dan kalau kata pemazmur ‘bila ditimbang neraca terjungkit ke atas, sebab berat mereka lebih ringan dari pada angin (rindu)’.
Di bukit perjuangan yang sunyi kumenyepi, sepi tanpamu; kutatap senja yang baru saja berlalu telah terkabul takkala mentari senja rendah membarat, mengantar terpupusnya penantian bersama langit yang menurunkan senja.
Di sini aku sepi sendiri merajut sunyi lalu berusaha tuk melupakan bayangan si rambut panjang Juliana Tefa. Sebut saja namanya. Demikian gadis belia bersosok menarik itu. Ikeng yang berpenampilan autentic yang cendrung tanpa kosmetik namun pasti memikat hati.
Dialah wanita yang pernah hadir, turut memberi warna dalam lembaran sejarah hidupku.
Aku mengenalnya kalah berada di bangku SMA. Dia bagaikan magnet yang mampu menarik hatiku ini dan bagaikan permata di tengah lumpur yang selalu menarik perhatian bagi banyak kaum adam seumurku kala itu.
Dia sangat berbeda dengan teman-temannya soal penampilan. Dia bersih dan rapi namun sederhana sebagaimana dia begitulah adanya. Anak orang kaya namun sederhana. Pemilik paras cantik serta selalu didandani dengan senyum rebok dan pipi lesung, imut khasnya.
Sungguh seperti dialah wanita dambaan hati ini. Karena itulah aku jatuh cinta padanya. Berkat rasa kagum dan kejantananku, aku pun bisa berhasil memenangkan hatinya dari lelaki lain.
*****
Lambat laun, seiring waktu terus melaju dan kami pun melakoni romantika kehidupan semasa SMA.
Dua insan ciptaan yang rapuh baru belajar tentang makna cinta sembari saling mengenal diri dan memahami tentang hitam putih, suka duka hidup dalam batas relasi berdua.
Aku sadar bahwa kami berdua saling mencintai. Sederetan janji manis tercurah dari hati ke hati untuk tetap setia, menjadi satu hati selamanya sampai maut memisah.
Berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain bahkan angannya hingga cincin emas pernikahan melingkari jari manis dan Kitab Suci jadi saksi pernikahan sakral.
Sejenak aku mengingat tentang lika-liku perjalanan kisah romantis itu kurang lebih berdurasi 2,5th hingga nyatanya berujung tinggal kenangan.
Sungguh romansa hidup yang cukup berarti bagiku sebab ada suka duka, tawa tangis kami hadapi bersama.
Mungkin seperti itukah namanya kisah cinta sejati, ibaratkan siang dan malam, ibaratkan cinta matahari dan bulan yang sama-sama mempunyai arti tersendiri apabila harus dimaknai.
Demikian dengan kisah aku dan dia. Terkadang berjalan bergandeng tangan, mesra di jalan yang lurus nan mulus namun juga harus bisa melewati krikil tajam di jalan berliku.
Di suatu senja yang bersahabat, pada hari minggu nuansa langit berkanvaskan kuning keemasan nan jingga, bola sanset nampak mempesona terlihat dari tempat kami berpijak. Di bukit cinta. Di puncak bukit yang senja itu kami jadikan saksi cinta, kami juga bisa menikmati sungguh indahnya lukisan tangan Tuhan di bagian barat bumi Meomaffo.
Sengaja kumengajak dia untuk berdua di tempat ini selain hanya menabur janji kucoba perlahan tuk merenung tentang perjalanan cinta kami selanjutnya.
*****
Bola api, sunset perlahan pamit terbenam, mengintip kami dari balik bukit. Langit kian berubah perlahan dan menyonsong datangnya malam, kami pun beranjak pulang dengan sepeda motor kongkor kesayanganku.
Dalam perjalanan pulang hujan gerimis dan desiran angin selatan sore hari turut mengantar kami pulang. Karena dia kedinginan kurelakan sweeterku untuk menyelimuti tubuh moleknya.
Hujan gerimis mengalun musik melodi cinta klasik di telingaku. Aku menikmati itu sampai aku tak sadar bahwa tangan mungil nan mulusnya memeluk tubuhku dari belakang. Rasa hangat bagaikan terpancar fajar mentari pagi menyapa hariku. Aku bahagia dalam dekapan hangat dan belaian kasihnya di atas roda dua, berdua.
Seiring roda dua berputar laju, suara sopran khasnya berbisik “ayah, aku tak ingin hubungan kita berdua berlalu diterpa waktu dan aku takut kehilanganmu kelak.” Bisikan cengengnya sambil memelukku lebih erat lagi.
“Iyaa.., aku juga tidak ingin hubungan kita berlalu seperti itu. Aku tahu kini kita memang saling mecintai namun satu hal yang pasti dan perlu kita sadari bahwa ada sebuah amanat klasik (Latina) berbunyi “homo propoinit sed Deus dispoinit’’. Artinya kita memang boleh merencanakan tentang hubungan kita, tetapi Tuhanlah yang menentukan kelak kita. Tetapi tenanglah hubungan kita pasti akan baik-baik saja ketika engakau masih berada bersamaku, memelukku erat. “Aku ingin kita terus bersama sampai Tuhan menghendaki kita berpisah.”
Responku sambil toleh melempar senyum dan dia pun secara refleks menyentuhkan bibir kenyalnya di pipiku.
Waktu kian melaju, hujan gerimis senja itu yang hadir menyapa kian rendah berpamit. Kisah asmara sepasang kekasih untuk episode hari itupun perlahan berujung.
Kami pun tiba di halaman rumahnya tepat dengan bola api diufuk barat barusan hilang dari pandangan mata.
Dia beranjak masuk pintu rumah dan masih sempat sesekali menoleh sembari melayangkan senyuman manja, melambai tangan sebagai tanda kasih sayangnya. Senja baru saja berlalu, kesejukan angin senja sudah terganti oleh waktu.
Dinginnya malam pun menyapaku dalam kamar tidurku yang teramat simple. Tentang kisah perihal senja dan cinta, aku dan dia di bukit cinta tadi masih melekat dalam ingatanku.
Meskipun raga ini terasa letih dan lelah karena dia, kucoba menyeruput sebatang rokok dan secangkir kopi.
Seperti lazimnya menjadi rutinitas anak kost dalam ritual berpamit pada senja. Aku sendiri, hanya berteman segelas kopi. Entahlah Malaikat datang dari mana aku pun tak tahu, sehingga dari dalam diriku ada rasa terdorong untuk merapat ke salah satu bilik kamarku. Tempat di mana aku telah pajangkan gambar Yesus dan Bunda Maria beserta seutas senjata iman, rosario. Di situ saya coba membisu tanpa kata untuk berdoa. Hanya diam dan coba mendengar bisikan hati dalam keheningan di batas malam itu.
Ada suara menyeru dari balik kalbu. Suara mengajak aku tuk menuruti tapak jejak-Nya dalam kesendirian hidup. Hidup bergelut iman tanpa ada pendamping, hanya bersama dia menapaki padang kehidupan. Aku ternyenyak sadar sebab nurani kian menyahut meski bisuku nyaris beku namun dengan berani suara kuolah jadi kata dalam doa. Mungkinkah suara itu miliki arti dalam renung nurani?
Keheningan malam kian larut. Rupanya alam sedang terbuai angin malam dan sinar rembulan yang sedang turun perlahan mengapai cakrawala.
Demikian sepi hingga kudapat merenung tentang pilihan hidupku. Karena bisikan suara dalam hening muncul pergulatan dalam hati.
Aku pun menyahut tentang langkahku untuk terus maju bergandeng tangan dengan dia menggapai pelaminan serentak menjadi ragu dan nyaris bimbang dalam hati.
*****
Desiran angin malam itu hadir coba menghalau namun dalam hati selalu ada tawaran yang membuat aku terbuai dilematis soal pilihan hidup. Kini taburan perasaan terkontaminasi dalam hati antara ragu, cemas dan bimbang seakan dacing nalarku tak daya lagi menimbang. Entahlah seharusnya bagaimana? Yang pasti bimbang. Memilih tetap bersama dia si kekasih dambaan hati ataukah mengikuti Dia.
Lagi-lagi pada keheningan malam yang sama karena mata tak terlelap terbuai malam, gelap omega menjadi saksi pergulatan batin tentang persoalan dilematis prihal pilihan hidup. Kucoba bernalar sembari membatin mencari, mencari dan mencoba menemukan ‘benang merah’tuk merajut hasrat hati kecilku serta terus mendengarkan jawaban dari Dia sebagai biang dari segala yang ada. Sebab Dialah telinga kemudian menjadi mulut yang meneguhkan nan bijaksana bagi setiap pijakan langkah hidupku.
Sejenak bayangannya terlintas dalam pikiranku dan pada seketika itu pula aku pun mengingat lagi tentang janji yang telah kami ucapkan dari hati ke hati.
Janji yang kalah itu terikat oleh jalinan harmoni cinta namun kini seakan semuanya perlahan tercecer pada bentangan dinamika hidup.
Aku tahu mungkin keputusanku dapat memberikan seberkas luka yang kemudian tegores pada dinding kalbunya. Mungkin ini namanya berjalan dalam kebersamaan dan harus berpisah pada persimpangan jalan kehidupan. Hanya bisa melambaikan tangan tanda sebuah perpisahan yang seharusnya kuiklaskan. Sebab karena tujuan yang mungkin seharusnya berbeda dan memang itu merupakan resiko dari pilihan hidup.
Suara Cinta Tuhan
Masa pacaran adalah masa yang paling indah dalam hidup. Masa ini menjadi momen special karena adanya jalinan kasih antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi lebih gairah karena kecantikan, kemolehan dan kelembutan si jelita.
Begitu juga si jelita terpesona dengan kekuatan, ketampanan sang kekasih yang mampu melindungi dan memperhatikannya.
Masa pacaran merupakan sebuah masa yang sungguh indah jika dilewati tanpa bekas. Namun untuk memasuki masa ini, sepasang kekasih perlu melewati beberapa anak tangga. Orang harus saling mengenal. Kemudian adanya keseringan bertemu untuk mengalami kekuatan cinta masing-masing. Namun ketika beradu kasih daya nalar tidak dimainkan.
Pangalaman cinta yang indah pun sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kata-kata sangat terbatas untuk mengungkapkan betapa derasnya energi cinta. Dunia seolah-olah milik berdua. Tidak ada kekesalan dan kesedihan. Bagaikan orang yang lagi asyik dan gandrung menonton tayangan sepak bola.
Ia menikmati indahnya permainan tanpa terusik sedikit pun. Cinta demikainlah yang kucoba lukiskan dalam perjalanan hidupku karena aku juga terkesima oleh cinta itu yang tak kenal awal dan akhir.
Aku seperti mabuk cinta sehingga tak berdaya ketika jemarinya merangkul setiap hela nafasku.
Aku mengalami pengalaman cinta yang sama. Pangalaman yang menjiwai dan menggerakan perjalanan panggilanku. Panggilan ini tidak terjadi langsung sekejab mata, tetapi melewati proses yang lama *****
Proses itu dimulai saat aku diterima dan masuk ke biara religius. Bagiku pangalaman panggilan hidup membiara adalah bercinta dengan Tuhan. Tuhan sama sekali tak bisa dilihat tapi bisa dipikirkan melalui pangalaman iman.
Tuhan yang kuperoleh ternyata adalah me dan God. Ia selalu hadir dalam hidupku. Satu hal yang kusadari bahwa aku ingin mencintai-Nya. Tapi bukan aku yang lebih dahuku mencintai-Nya melainkan Tuhanlah yang berinisiatif untuk mencintaiku. Suara cinta Tuhan inilah yang menjadi motivator cintaku kepada-Nya. Aku sungguh merasakan kehangatan kasih-Nya.
Setelah berkenalan dengan Tuhan aku selalu berusaha untuk rajin bertemu dengan-Nya melalui doa dan semua kegiatan komunitas. Aku setia mencari dan berjumpa dengan-Nya karena Tuhan terlebih dahulu memanggil aku.
Aku pun menjawab suara cinta-Nya melalaui panggilan hidup membiaraku saat ini aku mulai bergelut dengan dunia Filsafat di STFK Ledalero.
Panggilan cinta ini sungguh agung dan mulia sehingga aku semakin teguh dan kokoh pada pendirianku untuk terus berlangkah ke anak tangga berikut.
Masa KPAku sangat releven dengan suasana ketika Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama. Yesus pun mengajak aku untuk terus mengikuti-Nya.
Yesus juga mengatakan lihatlah, masa ini adalah momen perkenalan. Apakah perkenalan ini merupakan suatu perkenalan kasih yang baik? Kalau saya percaya kepada-Nya maka relasi cinta ini tetap berlanjut.
Pengalaman itu selalu mengairahkanku saat ini aku di biara CS. Momen ini sungguh suatu pengalaman baru bagiku karena baru pertama kali kudengar orang-orang menyapa aku dengan predikat Frater.
Aku kadang tidak percaya dengan predikat ini. Apakah aku pantas dan layak dipanggil Frater? Refleksiku mengatakan ya. Meskipun itu sangat asing pada awalnya namun aku percaya bahwa suara cinta Tuhan yang kujawabi memampukanku ubntuk tetap memandang predikat ini. Masa perkenalan semakin membuatku penasaran karena Tuhan selalu memberikan kejutaan dalam hidupku.
Aku diajak untuk terus bertolak ke tempat yang lebih dalam menuju puncak tangga imamatku. Layarku sedang berkembang. Ketika seorang nelayan membentangkan layar lebih dalam, maka tantangan pun semakin kencang berhembus. Begitu pun hidupku.
Aku sungguh-sungguh dihantar-Nya kke tempat yang lebih dalam lagi untuk mengenal suara cinta-Nya. Aku pun menjawab-Nya dengan ungkapan hati tulus seraya beriktiardan berikras setia kepada-Nya.
Perjalanan panggilan ini membuatku harus berikat pada motivasi dan komitmen yang lebih besar ketimbang perasaan kepada seorang bidadari. Motivasi dan komitmen ini kubingkai dalam diri Tuhan. Suara cinta Tuhan menggelora dalam diriku.
Aku terpatri pada-Nya. Kesetiaan total adalah pujaanku untuk menggapai-Nya. Kesetiaan bukan kata-kata hampa tapi suatu afirmasi nyata untuk berkorban dan bersatu dengan Tuhan selamanya. (***)
Penulis: Bernardus Badj tinggal di Maumere, Kabupaten Sikka.